Selasa, 05 Januari 2016

Teori dan metodologi kepelatihan



KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT. karena atas rahmat dan hidayah-nya kami kelompok 2 bisa menyelesaikan makalah yang berjudul Teori dan Metodologi Pelatihan ini tepat pada waktunya. Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Kepelatihan Dasar.
Makalah ini masih jauh dari sempurna oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun. Semoga makalah ini dapat berguna bagi setiap pembacanya.
Makassar, 14 Desember 2015

Penyusun



Daftar isi :
Kata Pengantar………………………………………… 1
Daftar isi……………………………………………….  2
BAB I Pendahuluan……………………………………  3
A.   Latar Belakang……………………………………..  3
B.   Tujuan………………         ……………………………...   3
BAB II Pembahasan…………………………………..   4-27
A.   Pentingnya pelatih…………………………………   4
B.   Iptek……………………………………………….    5
C.   Tugas, peran, dan kode etik pelatih……………….  6-10
D.   Tujuan pelatihan…………………………………...  10-26
BAB III Penutup……………………………………...   27
A.   Kesimpulan………………………………………..    27
B.   Saran………………………………………………    27
Daftar Pustaka ………………………………………..   28



BAB I
PENDAHULUAN
A.          Latar Belakang
Ilmu Pelatihan adalah ilmu terapan yang mempelajari masalah-masalah atelt, pelatih, proses berlatih-melatih, pertandingan, evaluasi hasil latihan dalam rangka mencapai prestasi yang maksimal, atau suatu ilmu yang mempelajari teori dan metodologi latihan guna mencapai prestasi yang maksimal.
Sebagai ilmu terapan, ilmu kepelatihan mengandung makna seni dan empiris. Seni berarti dalam penerapannnya perlu memperhatikan keunikan sifat dan karakter atlet yang beraneka ragam sehingga suatu metode melatih yang diterapkan untuk atlet yang berbeda terkadang tidak dapat diperoleh hasil yang sama, sedangkan empiris berarti semakin banyak seorang pelatih menerapkan ilmunya semakin pandai memilih metode yang tepat bagi atletnya.
Ciri-ciri yang dimiliki ilmu kepelatihan olahraga antara lain: proses pendidikan, berlatih terus menerus, kekhususan cabang olahraga, kompetisi yang diatur dengan pertandingan, sportifitas, kesadaran dan kesukarelaan dan prestasi prima.
Pelatih sebagai bagian dari sistem pembinaan prestasi olahraga, merupakan tokoh kunci yang harus memahami tatacara pelatihan yang benar, yakni dengan menguasai ilmu pelatihan atau teori dan metodologi latihan yang berisi konsep-konsep dasar aplikatif ilmiah yang dapat dipergunakan sebagai dasar untuk melakukan kegiatan pelatihan dengan resiko sekecil mungkin.
untuk dapat memahami teori dan metodologi latihan seorang pelatih dituntut menguasai berbagai ilmu pendukung antara lain: Kesehatan olahraga, anatomi, fisiologi, statistika, biomekanika, tes pengukuran, kebugaran jasmani, psikologi, ilmu pendidikan, sejarah, belajar gerak, sosiologi, dan ilmu gizi.

B.            Tujuan
·         Agar pembaca mampu memahami apa itu Teori dan metodologi dalam kepelatihan
·         Agar pembaca mampu menjelaskan Teori dan metodologi dalam kepelatihan



BAB II
PEMBAHASAN

A.        PENTINGNYA PELATIH
Pelatih adalah sosok yang penting artinya bagi setiap atlet. Oleh karena itu, tanpa bimbingan dan pengawasan seorang pelatih, prestasi yang tinggi akan sukar dicapai. Seorang pelatihakan lebih mudah melihat kesalahan teknik yang di lakukan oleh atlet daripda atlet itu sendiri.
Akan tetapi, dengan sendirinya pelatih haruslah betul-betul mengetahui segala seluk-beluk mengenai cabang olahraga yang di latihnya, yaitu mengenai teknik dan taktik melakukan cabang olahraganya, demikian pula mengenai bagaimana melatih fisik serta mental yang sesuai dengan karakteristik cabang olahraga yang di latihnya, mengenai peraturan permainan, peralatan, dan lain-lain. Pengetahuan setengah-setengah saja tidak akan banyak manfaatnya,malah mungkin justru akan merusak atau menyesatkan atlet.
Di dalam dunia pelatihan, ada semacam moto yang berbunyi sebagai berikut:
1.       Tinggi rendahnya prestasi atlet adalah cerminan dari tinggi rendahnya mutu pengetahuan dan keterampilan pelatihnya.
2.       Apa yang dikiprahkan oleh atlet dalam pertandingan adalah cerminan dari apa yang telah di berikan pelatihnya dalam pelatihan(HARSONO, 1988).
Seorang pelatih sering kali di citrakan orang sebagai pendidik, ilmuan, organisator, dan manajer yang baik. Namun, ada pula yang mencitrakannya sebagai sosok yang mempunyai disiplin, keras, galak, suka marah, suka “menyiksa” atletnyasewaktu pelatihan. Apa pun dan bagaimana pun gaya atau falsafah pelatih, ia wajib memahami peran, tugas dan kewajiban yang sebenarnya sebagai seorang pelatih agar ia dapat sukses dalam kariernya sebagai pengasuh para atletnya, termasuk perannya sebagai guru dan pedagang.

B.      IPTEK
Peranan IPTEK zaman sekarang, metode dan teknik melatioh sudah menjadi ilmu pengetahuan yang semakin canggih. Oleh karena itu, untuk menjadi pelatih yang berhasil, pelatih harus memiliki pengertian dan pengetahuan beberapa subdisiplin  ilmu yang erat hubungannya dengan masalah pelatihan dan yang menetukan prestasi olahraga, seperti ilmu pendidiklan jasmani, pembelajaran gerak, ilmu faal olahraga, anatomi, psikologi olahraga, prisnsip dan metodelogi pelatihan, biomekanika, serta ilmu mengenai pertumbuhan dan perkembangan anak.
                Pelatihan harus juga dapat meninggalkan cara – cara melatih statis tradisional  yang sudah usang meskipun cara atau metode tersebut dahulu dirasakan berhasil. Pelatih yang masih saja mengawetkan cara demikian dan menolak konsep melatih yang modern tidak akan sukses dalam karier melatihnya untulk jangka panjang. Pelatih harus adapt to change serta harus peka terhadap perubahan dan pembaruan. Hal ini selaras dengan postulat yang mengatakan bahwa “Tanpa Pembaruan tidak akan ada perubahan dan tanpa perubahan tidak akan ada kemajuan”.
                Penyebab pelatih yang belum mau meningglakan cara melatih yang statis tradisional mungkin karena latar belakang pendidikannya kurang cukup ,menunjangnya untuk merubah atau karena ia sudah merasa terlalu mapan dan yakin dengan sistem cara melatih, terutama sewaktu dia menjadi atlet atau juara.
                Coaching sebagai ilmu dan seni. Jadi, kita melihat bahwa penelitain bahwa pelatihan atau coaching adalh suatu ilmu atau science karena tanpa didukung oleh membantu atlet secara maksimal dan prestasi atlet pun akan menurun.
                Akan tetapi, penguasaan ilmu saja bukan satu-satunya syarat untuk untuk dapat menjadi pelatih yang berhasil. Coaching adalah juga seni art. Seninya terletak pada implementasi, aplikasi, dan penerapan dari fakta ilmiah ke dalam bidang coaching. Banyak pelatih merasa bahwa cara penerapan itu jauh lebih sukar daripada mempelajari ilmu itu sendiri. Keterampilan seni dalam caoching hanya akan diperoleh melalui pengalaman dan pengamatan yang lama dan tekun di lapangan, dan bukan melalui 1 atau 2 kali fasilitaoran pelatih.
c.       TUGAS, PERAN, DAN KODE ETIK PELATIH
Gelar coach atau pelatih adalah gelar atau sebutan yang memancarkan rasa hormat, respek, status, dan tanggung jawab. Ia adalah juga seorang guru, pendidik, bapak, dan teman sejati. Sebagai guru, ia disegani, sebagai bapak ia dicintai, dan sebagai teman sejati ia yang dipercayai dan merupakan tempat untuk mencurahkan isi hati. Seoarang coach senantiasa npendidik atau seorang guru. Seoarng coach mencerminkan manusia  bagaimana yang tumbuh dan berkembang di bawah asuhannya. Ada yang  mengatakan bahwa A coach is a beter teacher.
Hampir sama denga falsafah, kode etik juga suatu perangkat peraturan dan prinsip-prinsip yang menuntun orang dalam perilakunya sehari-hari. Etik adalah suatu disiplin yang biasanya mengacu pada masalah yang berhubungan dengan baik dan buruk dengan kewajiban dan tanggung jawab moral.
Beberapa tuga utama, peran, dan keperibadian pelatih, termasuk kode etik pelatih yang kental dengan nuansa pedagogi (pedagogy of coaching) perlu diperhatikan oleh para pelatih olahraga antara lain, adalah sebagai berikut.
Perilaku. Pertama-tama, perilaku serta tabiat seorang pelatih haruslah bebas dari cela dan cerca. Ia harus selalu ingat bahwa, baik anak didik maupun masyarakat sekitar, memandang dirinya sebagai seorang manusia model. Atlet, terutama yang masih muda, sering kali mengidentifikasi dirinya dengan perilaku dan tabiat pelatihnya.
                Kepemimpinan . Pelatih harus  merupakan seorang individu yang dinamis, yang dapat memimpin dan memberikan motivasi kepada anak asuhannya kepada para pembantunya.
                Ia harus pula dapat menerima pandangan serta pendapat orang lain. Keputusan dan sikapnya harus tegas, tidak meragukan, apalagi menrcurigakan. Demikian pula,wibawa sebagai pemimpin harus tetap di pegang teguh, baik setelah suatu kemenangan yang gampang maupun setelah suatu kekalahan yang menyayat hati.
                Sikap sportif. Seorang coach harus pula mencerminkan contoh dari sportivitas yang baik. Oleh karena itu, pelatih harus pula mengajarkan sikap sportif kepada para atletnya. Atlet harus di latih untuk bermain fors dan berjuang sebaik-baiknya, tetapi dengan cara-cara yang jujur dan sportif(fair). Pelatih harus menanamkan sifat agresif pada para atletnya. Jujur, disiplin, bermain keras, dan agresif, tetapi bersih dan tidak melakukan perbedaan di antara para atletnyamerupakan beberapa sifat sportivitas yang baik. Sportivitas harus diajarkan dan di praktikkan  secara kontinu agar atlet lama-kelamaan terbiasa untuk berlaku sportif.
                Menangani menang kalah. Pelatih harus menangani kemenangan dan kekalahan secara baik, yaitu rendah hatidan santun dalam dalam kemenangan dan menerima kekalahan dengan tabah dan besar hati (modest in viktoriand gracious in thefeat). Pelatih yang selalu memarahi atlet yang kalah hanya akan menciptakan atlet yang penakut. Atlet yang demikian biasanya hanya akan memaksa kemenangan melalui rasa takut, dan bukan rasa senang.
                Pengetahuan dan keterampilan. Tidak boleh di ragukan lagi bahwa pengetahuan sampai hal-hal terperinci tentang olahraga yang di latihnya, baik aspek fisik, teknik taktik, mental peraturan pertandingan, sistem pelatihnya, maupun penyusunan program pelatihnya, mutlak harus di kuasai seorang pelatih. Pelatih juga harus terampil dan tangkas melakukan olahraga yang di latihnya. Jadi, jelas kiranya bahwa pengalamannya sebagai atlet dalam cabang olahraga yang di latihnya amat penting.
                Keseimbangan emosional. Kemampuan untuk bersikap lugas, wajar, dan tenang dalam keadaan tertekan merupakan tolak ukur dari keseimbangan emosional dan kedewasaan seseorang dalam tugas pelatih sebagai pembimbing dan pengasuh anak muda. Penting baginya untuk tetap berkepala dingin bukan hanya pada waktu pelatihan, melainkan juga di luar itu.
                Seorang pelatih akan sering kali berada dalam keadaan stres, emosional, dan suasana tegang yang berkepanjangan, terutama selama kompetisi sedang berlangsung. Oleh karena itu, kecuali harus mampu mengendalikan diri, ia harus juga dapat memberikan pengaruh ketenangan kepada atletnya. Di dalam pertandingan dan situasi stres dan tegang, pelatih harus merupakan orang yang paling stabil di dalam timnya.
                Imajinasi. Dalam banyak hal, imajinasi merupakan basis atau dasar kegiatan olahraga. Pelatih yang imajinatif adalah pelatih yang mampu membayangkan pola permainan baru, sistem pertahanan dan penyerangan baru yanglebih canggih, serta taktik, teknik, dan metode pelatihan yang lebih efektif dan efisien. Coach yang demikian adalah coach yang inovatif yang selalu gelisah untuk menemukan sesuatu yang baru dalam tugasnya sebagai pelatih. Mereka sering dijuluki sebagai master strategist and tacticans dalam olahraga (Harsono: 2005).
                Humor. Suatu sifat yang tampaknya remeh, tetapi sering pula ikut menentukan sukses atau tidaknya seorang pelatih adalah sense-nya atau cita rasanya akan humor. Banyak atlet yang berpendapat bahwa humor adalah sifat yang terpenting dimiliki seorang pelatih.
                Kemampuan untuk membuat orang lain merasa relaks dengan jalan memberikan humor atau candayang sehat dan menyegarkan merupakan faktor penting guna untuk mengurangi ketegangan dan membangkitkan optimisme baru, baik dalam pelatihan maupun sebelum sesudah pertandingan.
                Kebugaran. Kiranya dapat dibayangkan betapa berat sebenarnya pekerjaan seorang pelatih. Di samping tugas kesehariannya, ia harus pula mempersiapkan rencana pelatihan untuk esok hari serta mengevaluasi dan menganalisis pekerjaannya yang lalu. Sering kali pula ia harus ikut bermain dengan atletnya atau memberikan demonstrasitentang teknik yang benar. Tugasnya tidak berbatas pada hal itu saja. Ia juga harus mampu mengorganisasi program pelatihan dan pertandingan serta meng-inventarisasikan data pribadi atlet, dan kondisi fisiknya, kemajuan dan kemunduran prestasinya, dan sebagainya. Oleh karena itu kesehatan dan vitalitas yang prima adalah penting untuk di miliki seorang pelatih agar ia dapat selalu dinamis dan penuh energi di lapangan.
                Pendewasaan anak. Partisipasi dalam olahraga merupakan bagian yang penting dalam proses pendewasaan anak menjadi media bagi para atletmuda untuk belajar nilai-nilai hidup serta menumbuhkan watak dan budi pekerti, seperti kepemimpinan,pengambilan inisiatif, ambisi, disiplin, dan berpikir positif.
                Kegembiraan berlatih. Pelatih harus dapat mengajarkan kegembiraan  (enjoyment) dalam bermain dan berlatih. Kalau pelatihan atau pertandingan hanya di anggap suatu siksaan oleh atlet, kegembiraan berlatih dan kegembiraan bertanding (the joy of training and competiting) akan hilang. Banyak kasus drop out dalam olahraga terjadi karena atlet tidak lagi menemukan kegembiraan dalam pelatihan.
                Harga wasit. Pelatih harus dapat menghargai keputusan wasit dan official pertandingan lain.
                Hargai tim tamu. Pelatih harus memperlakukan tim tamu sebagai tamu yang harus di hormati, bukan justru sebagai saingan yang tujuannya untuk mengalahkan timnya. Tamu harus di hargai sebagai teman bermain dan bertanding yang sama-sama ingin menyuguhkan permainan yang seru, tetapi sportif dan bermutu serta untuk menguji siapa yang terbaik dari kedua tim tersebut melalui perjuangan yang gigih, tetap sportif, dan fair.
                Perhatian Pribadi. Setiap atlet harus merasa bahwa ia mendapat perhatian dari pelatih. Atlet ingin agar ia diakui (recognized) sebagai orang, dan bukan sebagai sesuatu yang hanya di gunakan untuk pertandingan sebab kalau begitu akan ada keengganan (resentmen) atlet untuk berlatih.
                Bersikap positif. Biasanya kalau kita mersakan stres, tegang, atau takut, kita cenderung akan berpikir tentang kelemahan kita. Susahnya kalau kita pusatkan perhatian kita pada kelemahan (menjadi berpikir negatif) biasanya akan menjadikan lemah. Namun, kalau iner speaking kita berubah menjadi positif, biasanya perilaku (behaviour)kita pun akan berubah menjadi positif.
                Para pakar psikologi mengatakan “change your master program in your subconcious, mind, and it will change your life”. Ada yang mengatakan bahwa pelatihan amat intensifpun kalau tidak di barengi dengan pelatihan mengubah subconciuous mind akan percuma saja.
                Siap mental. Kalau kita sudah bertekad dan berani untuk menjadi pelatih olahraga, secara mental kita harus sudah bersiap untuk:
Ø  mengabdikan diri sepenuhnya demi kebesaran dan keagungan profesi dan olahraga,
Ø  mengamalkan seluruh pengetahuan kita kepada semua orang, dan
Ø  berani “berkorban”, baik fisik maupun mental, tidak mengharapkan pujian kalau atlet menang dan siap untuk menerima kritikan pedas kalau atlet kalah.

PELATIHAN
1.       Berikan ulasan mengenai pentingnya pelatih
2.       Bicarakan beberapa tugas, peran, dan tanggung jawab pelatih
3.       Diskusikanlah masalah iklmu dan seni coaching
4.       Berikan beberapa contoh fair play
5.       Bagaimana sebaiknya menangani kemenangan daan kekalahan?
6.       Diskusikanlah masalah berbagai tipe kepribadian pelatih serta keuntungan dan kelemahannya
C.      TUJUAN PELATIHAN
Tujuan serta sasaran utama dari pelatihan atau training adalah untuk membantu atlet untuk meningkatkan keterampilan dan prestasinya semaksimal mungkin. Untuk mencapai hal itu, ada empat aspek pelatihan yang perlu diperhatikan  dan dilatih secra seksamaa oleh atlet, yaitu (a) pelatihan fisik, (b) pelatihan teknik, (c) pelatihan taktik, (d) pelatihan mental.
1.       Pelatihan fisik (Physical Training)
Perkembangan kondisi fisik yang menyeluruh amatlah penting karena tanpa kondisi fisik yang baik atlet tidak akan dapat mengikuti pelatihan dengan sempurna. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan potensial faal dan mengembangkan kemampuan biomotorik ke tingkat yang setinggi-tingginya agar kondisi fisik dikembangkan dengan urutan:
a.       Persiapan fisik umum
b.      Persiapan fisik khusus, dan
c.       Persiapan fisk yang amat spesifik yang diperlukan oleh cabang olahraga yang bersangkutan (Harsono, 2004)
Nomor (a) dan (b) ditekankan pelatihannya di tahap persiapan gunba meletakan dasar-dasar kondisi fisik yang solid.

2.       Pelatihan Teknik ( Technikal Training)
Yang dimaksud dengan pelatihan teknik adalah pelatihan untuk memahirkan teknik gerakan yang diperlukan agar atlet terampil melakukan cabang olahraga yang digelutinya. Semakin sempurna tekniknya, semakin sedikit pukla energi yang perlu dikeluarkan untuk melakukan teknik tersebut, berarti pula pengeluaran tenaganya pun menjadi ekonomis dan efesien.
Cloud Callout: Jadi, teknik yang sempurna = efisien tinggi 


Dalam setiap cabang olahraga tentu ada kesepakatan mengenai suatu standar teknik yang sempurna dan yang oleh setiap pelatih dijadikan model untuk diajarkan kepada anak asuhnya. Teknik yang sempurna adalah teknik yang secara biomekanik benar dan secara fisiologis efesien.
Cepat tidaknya atlet mampu menguasai suatu teknik tertentu amat bergantungpula dari kesepakatan fisk atlet sebab kesiapan fisik yang tidak cukup  akan pula memperlambat atau membatasi kemajuan atlet dalam pembelajaran teknik, seperti ditingkatkan, ...learning and especially the perfection of skill is limited”.
Teknik dan Gaya. Ada sementara orang yang menyamakn istilah teknik dan gaya (style). Sebenarnya teknik adalah model yang harus diikuti waktu mempelajari suatu gerakan tertentu, sedangkan gaya adalah pola individual dalam melakukan suatu keterampilan. Struktur dan bentuk utama dari suatu model tidak berubah. Namun, karakteristik serta faktor anatomi dan fisiologi dari individu atlet dapat berbeda dab sering kali tidak sama. Oleh karena itu, gaya seseorang dapat berbeda dengan gaya atlet lain. Jadi, seperti kita ketahui, adaa pelompat tinggi yang menggunakan gaya stradlle dan ada pula yang melompatnya dengan gaya fosbury.
3.       Pelatihan Taktik (Tactical Training)
Tujuan pelatihan taktik adalah untuk menumbuhkan perkembangan interperatif atau daya tafsir pada atlet. Teknik gerakan yang telah dikuasai dengan baik kini haruslah dituangkan dan diorganisasi dalam pola permainan, bentuk, dan formasi permainan serta taktik pertahanan dan penyerangan sehingga berkembang menjadi suatu kesatuan gerak yang sempurna (smoothly fuctioning unit).
Pelatihan atau perencanaan taknik hanya akan dapat sukses manakala tingkat kemahiran teknik setiap anggota tim sudah sempurna. Jadi, keterampilan teknik merupakan faktor penting dalam meningkatkan kemampuan manuver taktis atau taktik dan merupakan pengejawantahan dari fungsi   teknik atlet.
Dalam persiapan pelatihan taktik, yang dilakukan pelatih sebagai berikut:
a.       Mempelajari peraturan permainan dan pertandingan cabang olahraganya
b.      Menyelidiki kemampuan strategis dan taktis calon lawan
c.       Mengetahui potensi fisik dan mental caalon lawan, dan
d.      Mengembangkan kemampuan taktik individual dalam menghadapi pertandingan yang akan datang yang didasarkan pada kekuatan dan kelemahan setiap individu
4.       Pelatihan Mental ( Psycological Training)
Perkembangan mental atlet  tidak kurang pentiungnya per-kembangan ketiga faktor tersebut sebab betapa sempurna pun perkembangan fisik, teknik, dan taktik atlet apabila mentalnya tidak turut berkembang, prestasi tinggi tidak mungkin akan dapat di capai. Pertandingan adalah 80% masalah mental dan hanya 20% yang lain .kesalahan umum para pelatih kita adalah bahwa aspek psikologis yang sangat penting artinya itu sering diabaikan atau kurang diperhatikan pada waktu melatih karena mereka hanya menekankan pelatihan guna penguasaan teknik,taktik,dan pembentukan keteramfilan yang sempurna, sedangkan perkembangan secara alamiah atau kebetulan saja. Pelatihan mental harus diberikan secara sengaja,sistematis,voluntari dan internsional.

Cloud Callout: Batasan Pelatihan (Training)Tidaklah mudah untuk memberikan satu batasan yang paling sempurna  tentang  pelatihan. Tampaknya jumlah batasan yang di buat oleh para ahli sama banyaknya dengan jumlah ahlinya. Salah satu batas pelatihan adalah sebagai berikut
Training adalah proses yang sistematis dari berlatih atau bekerja yang di lakukan secara berulang-ulang dengan demikian hari kian menambah beban pelatihan atau pekerjaannya .( harsono,2005 )Yang di maksud dengan sistematis adalah berencana, menurut jadwal, menurut pola, dan sistem tertentu, metodis, dari mudah ke sukar, serta pelatihan pelatihan yang teratur dari yang sederhana ke yang lebih kompleks.


Cloud Callout: PRINSIP – PRINSIP PELATIHAN
 


Prinsip-prinsip pelatihan yang akan dikemukakan adalah prinsip-prinsip yang amat mendasar, tetapi penting dan yang dapat diterapkan pada setiap cabang olahraga. Prinsip-prinsip itu haruslah diketahuidan benar-benar dimengerti oleh pelatih atau atlet. Suatu kekurangan yang umum yang terdapat pada atlet dan pelatih kita adalah bahwa mereka kurang mengetahui prinsip serta tujuan pelatihan sehingga tidak mungkin atlet dapat dilatih dengan sukses dan tidak mungkin pula pelatih mampu menyusun program pelatihan dengan benar.
1.     Prinsip beban lebih (overlad principle)
Prinsip overload adalah prinsip pelatihan yang bpaling mendasar, tetapi paling penting karena tanpa penerapan prinsip dalam pelatihan, tidak mungkin prestasi atlet akan meningkat. Prinsip itu mengatakan bahwa  beban pelatihan yang di berikan kepada atlet haruslah yang cukup tinggi dan cukup bengis. Kalau pelatihan yang di lakukan secara sistematis, tubuh atlet akan dapat menyesuaikan diri semaksimal mungkin pada pelatihan berat yang di berikan serta dapat bertahan terhadap stres yangb ditimbulkan oleh pelatihan berat, baik stres fisik maupun stres mental.
Penambahan beban. Satu hal yang perlu diperhatikan dalam menetapkan sistem overload adalah untuk jangka memberikan beban pelatihan yang terlalu berat yang dioerkirakan tidak mungkin akan dapat diatasi oleh atlet. Kalau pelatihannya terlalu berat, sistem faaliah dalam tubuh kita tidak akan mampu untuk menyesuaikan diri dengan stresyang terlalu ekstrem beratnya.
Sistem tangga. Dalam mendesain pelatihan overload, pelatih disarankan untuk menerapkan sistem tangga (the step type approach) atau sering pula diistilahkan dengan wave-like system (sistem ombak), yaitu penambahan beban pelatihan secara bertahap yang di selingi dengan tahap unloading (pengurangan beban).
2.     Perkembangan Menyeluruh
Perlibatan dalam Beragam Aktivitas. Berdasarkan teori perkembangan menyeluruh (multilateral), pelatih sebaiknya jangan terlalu cepat membatasi atlet (terutama atlet muda) dengan program pelatihan yang menjuras pada perkembangan spesialisasi yang sempit yang terlalu dini. Atlet, selain melakukan cabang olahraga sepesialisasinya, ia juga harus diberi kebebasan menjelajahi beragam aktivitas keterampilan fisik lain, terutama yang membangkitkan otot, keseimbangan, kelincahan, dan “kehabisan” napas, demikian juga tantangan mental sosial.
Apabila perkembangan itu telah mencapai suatu tingkat yang cukup memuaskan, khusunnya perkembangan fisik atlet, atlet kemudian memasuki jenjang pelatihan yang kedua, yaitu tahap spesialisasi dalam cabang olahraga yang dianutnya. Hal itu kemudian akan membimbing atlet pada karier olahraga yang paling tinggi, yaitu jenjang pelatihan untuk prestasi maksimal.
Atlet yang dasar perkembangan multilateralnya baik, biasannya ia juga akan mencapai prestasi optimal dalam waktu yang lebih cepat dan biasanya ia juga akan dapat bertahan di puncak (holding powernya) lebih lama ketimbang atlet yang berkembang dasarnya tidak atau kurang menyeluruh.
3.     Spesialisasi
Apapun cabang olahraga yang diikutinya, tujuan serta motif atlet biasanya adalah untuk melakukan spesialiasasi dalam cabang olahraga sebab hanya dengan spesialisasi ia akan dapat memperoleh sukses dan menonjol prestasinya dalam cabang olahraga. Spesialisasi berarti men-curahkan segala kemampuan baik fisik maupun psikis, pada suatu cabang olahraga tertentu.
Mengenai spesialisasi ini, Ozolin (Bompa, 1994) menganjurkan agar aktivitas motorik yang khusus mempunyai pengaruh yang baik terhadap pelatihan (terasa efek pelatihannya), pelatihan harus didasarkan pada dua hal, yaitu (a) melakukan pelatihan yang spesifik bagi cabang olahraga spesialisasi; (b) melakukan pelatihan yang spesipik untuk mengembangkan biomotorik dibutuhkan oleh cabang olahraga tersebut.
Penerapan prinsip spesialisasi kepada anak- anak dan atlet muda harus berpedoman pada prinsip multilateral yang merupakan basis bagi perkembangan spesialisasi. Banyak pelatih yang mengabaikan realitas itu dan dalam ambisinya untuk mencapai prestasi yang tinggi secara prematur kepada atletnya mereka menyuruh atlet untuk melakukan penelitian yang terlalu sulit dan terlalu berat penyesuaian potensial yang dapat diatasi oleh atlet.
4.     Prinsip Individualisme
Tidak adanya dua orang yang rupanya sama benar dan tidak ada pula dua orang (apa lagi lebih) yang secara fisiologi dan psikologi sama benar. Setiaap orang mempunyai perbedaan individu masing-masing. Demikian pula, setiap atlet berbeda dalam kemampuan, potensi, dan karakteristik belajarnya. Oleh karena itu, prinsip individualisasi yang merupakan salah satu syarat yang penting dalam pelatihan kontemporer harus di terapkan kepada setiap atlet sekalipun mereka mempunyai tingkat prestasi yang sama.
Seluruh konsep pelatihan haruslah disusun sesuai dengan kekhasan setiap individu agar tujuan pelatihan dapat sejauh mungkin tercapai. Faktor, seperti, umur, jenis, bentuk tubuh, kedewasaan, latar belakang pendidikan, lamanya berlatih, tingkat kesegaran jasmani, dan ciri-ciri psikologis, semua harus dipertimbangkan dalam mendesain program pelatihan bagi atlet. Jadi, simpulannya ialah bahwa pelatihan memang harus direncanakan dan disesuaikan bagi setiap individu agar pelatihan dapat memperoleh hasil yang terbaik (the best result) bagi individu tersebut.
5.     Variasi dalam pelatihan
Pelatihan yang di laksanakan dengan betul biasanya menuntutbanyak waktu dan tenaga dari atlet. Ratusan jam kerja keras di perlukan oleh atlet untuk meningkatkan intensitas kerjanya dan untuk semakin meningkatkan prestasinya. Oleh karena itu, tidak mengherankan pelatihan dan kerja keras dapat menybabkan rasa bosan (boredom) dan lesu pada dirinya. Dengan demikian, sesi pelatihan harus sewaktu-waktu di selingi dengan variasi pelatihan untuk “menyegarkan”, baikb fisik maupun (terutama) psikis.
6.     Intensitas pelatihan
Perubahan fisiologi dan psikologis yang positif hanya mungkin apabila atlet  di latih melalui suatu program pelatihan yang intensif yang di landaskan pada prinsip overload dengan secara progresif menambah beban kerja, jumlah pengulangan gerakan (repetition), serta kadar intenistas dari repitisi tersebut. Keluarnya keringat belum tentu dapat dipakai sebagai indikasi/patokan intensif atau tidaknya pelatihan.
Insensitas pelatihan mengacu pada jumlah kerja yang dilakukan dalam suatu unit waktu tertentu atau berat ringannya kinerja yang di lakukan dalam pelatihan. Semakin banyak kerja yang dilakukan dalam suatau unit waktu tertentu, semakin tinggi intensitas pelatihannya. Intensif atau tidaknya pelatihan bergantung pada beberapa faktor:
a.    Beban pelatihan
b.   Kecepatan dalam melakukan gerakan
c.    Lama atau tidaknya interval di antara repitisi, dan
d.   Stres mental yang dituntut dalam pelatihan.
Berat atau ringannya insensitas. sebagai patokan, dapat dipakai skala insensitas yang di tawarkan oleh Bompa (1994) dengan tambahan dari Haerre (1982), seperti berikut ini.
Nomor Entitas
Persentase dari Prestasi Maksimal Atlet
intensitas
1
2
3
4
5
6
30 – 50%
50 – 70%
70 – 80%
80%
90 – 100%
100 – 105%
Low
Intermediate
Medium
Submaksimal
Maksimal
Supermaksimal

Intensitas pada denyut nadi.klasifikasi yang di dasarkan  pada denyut nadi sebagaimana di anjurkan  oleh  Niki forov,(1974) dalam Bompa (1999) adalah sebagai berikut.
Keempat zona intensitas di dasarkan pada reaksi DN terhadap beban.
Zona
Intensitas
DN/menit
1
2
3
4

Rendah
Medium
Tinggi
Maksimal
120 – 150
150 – 170
170 – 185
Lebih dari 185

Teori katch dan McArdle. Cara pengukuran intensitas pelatihan yang Lain yang tampaknya lebih sesuai untuk dijadikan pedoman adalah cara katch dam McArdle (Katch dan McArdle, 1983). Rangkumannya adalah sebgai berikut.
Ø  Intensitas pelatihan dapat diukur dengan cara menghitung denyut nadi dengan rumus:
Denyut nadi maksimal (DNM)=220-umur(dalam tahun)
Jadi, DNM seseorang yang berumur 20 tahun =220-20=200 denyut/menit
Takaran intensitas pelatihan: untuk OR prestasi: 80-90%. Jadi, bagi atlet yang berumur 20 tahun, takaran intensitas yang harus di penuhiialah80%x200= 160DN/menit.
Kelemahan:
Teori di atas mengandung beberapa kelemahan, antara lain, dua orang yang berbeda tingkat kondisi fisiknya, tetapi sama umurnya akan berbeda reaksinya terhadap patokan intensitas/beban pelatihan yang sama.
Tes 5 menit:  Teori katch dan McArdle akan kurang cocok untuk diterapkan kepada atlet elite yang sama umumnya, tetapi status kondisi fisiknya berbeda. Oleh karna itu, penentuan intensitas  pelatihan bagi mereka  sebaiknya di dasarkan pada MHR ( maximum heart rate ) atau DNM yang di ukur dengan kemampuan kecepatan lain selama 5 menit. Atlet di suruh lari selama 5 menit sedemikian rupa sehingga pada waktu sampai finis usahanya sudah maksimal (all out). Kemudian, atlet dihitung denyut nadinya. Denyut nadi  yang di hasilkan adalah MHR  atlet yang bersangkutan. Atlet yaang di latih biasanya DN-nya lebih tinggi ( dapat sampai 180-200) daripada atlet yang kurang berlatih.
Kalau MHR-nya sudah di ketahui, mudah saja pelatih menentukan persentase  intensitas pelatihanya.kalau pelatih menuntut persentase pelatih 80%, atlet harus berlartih intesf sedemikian rupa sehingga denyut nadi pelatih dari atlet yang MHR-nya 180 harus mencapai 144 DN/menit (80% x 180).
                                                                
7.       Kualitas pelatihan
Berlatih secara intensif  belumlah cukup apabila pelatih atau dril-dril tidak berbobot, tidak bermutu, dan tidak berkualitas. Tel;atih yang berkualitas haruslah penuh dengan makna dan harus  dilandasi oleh konsep yang jelas tentang apa yang akan dan harus dilakukan atlet dan berisi dril-dril yang konstruktif sering di berikan pelatih sampai ke detail gerakan, demikian pula manakala intervensi iptek di terapkan dalam pelatihan.
Orang dapat saja berlatih keras, intensif, ssampai kehabisan nafas dan tenaga, tetapi jika isi pelatihanya tidsk bermutu dan hampa dengan kegiatan yang bermakna, prestasi atlet tidak akan meningkat. Only perfect practice makes perfect. pelatihan yang walaupun kurang intensif, tetapi bermuutu sering kali lebih bermanfaat ketimbang pelatihan yang intensif, tetapi tidak bermutu.

8.       Volume pelatihan
volume pelatihan merupakan bagian penting dalam pelatihan, baik untuk pelatihan fisik, teknik, maupun taktik. Volume pelatihan tidak sama dengan lamanya (durasi) pelatihan. Dapat saja pelatihan berlangsung singkat, tetapi materi pelatihannya banyak. Sebaliknya, pelatihana berlangsung lama, tetapi hampa dengan kegiatan yang bermanfaat.
Volume pelatihan ialah kuantitas (banyaknya) beban pelatihan dan materi pelatihan yang di laksanakan secara aktif. Contohnya, atlet yang diberi pelatihan lari interval 10x400m dengan istirahat di antara setiap repitisi 3menit, volume latihannya ialah 10x400m = 400m. Kalau setiap 400 m ditempuhnya dengan waktu 70 detik, volume pelatihannya ialah 10x70 detik= 7000 detik. Jadi, lamanya istirahat di antara setiap repitisi 9x3 menit= 27 menit, tidak termasuk dalam volume pelatihan, tetapi termasuk dalam lamanya pelatihan. Jadi, lama pelatihan (dalam hitungan waktu) adalah 700 detik di tambah 27 detik dan dalam hitungan jarak lari ialah 4.000m.
Volume latihan dapat di nyatakan dalam:
a.       Total waktu berlangsungnya kegiatan,
b.      Jarak yang harus ditempuh atau berat badan yang harus diangkat persatuan waktu, dan
c.       Jumlah repitisi dalam melakukan suatu aktivitas atau dalam melatih suatu unsur teknik atau keterampilan tertentu. Misalnya, lari 400m sebanyak 10repitisi atau melempar bola sebanyak-banyaknya  dalam waktu satu menit (Bompa, 1994).
Jumlah volume pelatihan. Semakin tinggi tingkat prestasi atlet, semakin banyak pula jumlah volume pelatihan yang harus di lakukan. Terdapat korelasi  yang tinggi antara volume pelatihan dan prestasi  yang ingin di capai oleh atlet.
Adaptasi fisologis. Adaptasi fisiologis tidak mungkin dapat di capai tanpa volume pelatihan yang tinggi. Artinya, kalau volume pelatihan terlalu sedikit, intensitasnya rendah (kurang dari 60% maksimal) maka proses adaptasi tidak akan terjadi atau kalau pun ada adaptasinya kecil sekali.
9.     Lama Pelatihan
Kekeliruan yang umum di lakukan oleh banyak pelatih adalah bahwa mereka lebih menekankan lamanya pelatihan daripada penambahan beban pelatihan. Waktu pelatihan sebaiknya pendek, tetapi tetap berisi dan padat dengan kegiatan yang bermanfaat, kecuali waktunya byang pendek, pelatihan harus dilakukan dengan usaha yang sebaik-baiknya dan dengan kualitas atau mutu yang tinggi. Namum, kita harus pula memperhatikan  bahwa “.... as soon as bad features creep into the performance that particular practice must stop” (Thomas, 1970).
                Suatu keuntungan dari pelatihan yang pendek adalah bahwa hal itu akan terus membawa atlet dalam alam berpikir tentang pelatihannya. Artinya, segala sesuatu yang diberikan kepadanya dalam pelatihan dapat terus berdengung dalam pikirannya. Apabila waktu pelatihan berlangsung terlalu lama  dan terlalu melelahkan, bahayanya adalah atlet akan memandang setiap pelatihan sebagai siksaan. Selesai pelatihan, selesai semuanya dan putus pula hubungannya dengan hal-hal yang berhubungan dengan pelatihan.
10.            Tes Uji Coba
Tujuan mengikuti pertandingan uji coba, antara lain  adalah untuk:
a.       Memberikan pengalaman kepada atlet dan tim untuk bertanding dalam suasana pertandingan yang sebenarnya dengan peraturan permainan dan pertandingan yang resmi dan ditonton oleh penonton yang masih asing bagi mereka.
b.      Mencari  atau mengetahui (kalau ada) kekurangan atlet atau tim, baik dalam aspek fisik, teknik, taktik, mental, maupun kerja sama tim.
c.       Menguji kemampuan taktis regu dalam menghadapi berbagai srategi dan taktik lawan yang mungkin bakal dihadapi dalam pertandingan, dan
d.      Memberikan pengalaman terlibat dalam situasi stres fisik dan mental pertandingan dan berusaha mengatasinya.
Pertandingan uji coba mengandung unsur dan potensi belajar yang sangat penting bagi atlet. Atlet akan dapat banyak belajar dari pengalaman dalam pertandingan uji coba. Lagi pula, ketangguhan fiski dan mental yang sebenarnya dari atlet akan tampak dan terungkap jelas dalam situasi pertandingan yang dalam pelatihan sering kurang tampak. Beberapaa hal yang perlu yang diperhatikan dalam merencankan partisipasi atlet dalam pertandingan uji coba adalah sebagai berikut.
a.       Sebaiknya hanya atlet yang sudah memiliki kondisi fisik dan mental serta kemampuan teknis dan taktis yang cukup dan memaadai yang diizinkan terjun dalam pertandingan uji coba.
b.      Jangan ikuti sembarang tes uji coba di sembarang waktu. Perlu ada perencanaan unutk tes uji coba.
c.       Teliti dan pilihlah pertandingan yang aptut diikuti.
d.      Jangan hindari lawan yang setaraf atau yang lebih kuat dari regu kita karena pertandingan yang tidak mengandung tantangan tidak akan banyak manfaatnya.
e.      Atlet harus diberi kesempatan untuk ikut dalam banyak pertandiangan uji coba (tetapiu jangan terlalu banyak). Pertandingan uji cobva itu penting untuk mendorong atau memaksa atlet tampil secara optimal (yang dalam pelatihannya biasanya berkurang). Selain itu, tes uji coba jugfa penting untuk menstabilkan penampilan dalam situasi pertandingan dan untuk semakin menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi pertabndingan.
Jadwal Uji Coba Tanding. Jadwal pertandingan uji coba harus disusun dengan cerdik dan sedemikian rupa sehingga menjamin atlet untuk mencapai prestasi puncaknya pada saat yang tepat. Perencanaan yang kurang cerdik dan kurang intelegen sering kali justru “mengacaukan” penampilan optimal peretandingan utamanya, artinya tahap overkompensasi tidak akan jatuh tepat pada hari pertandingan utamanya. Setiap pertandingan uji coba haruslah diarahkan pada sasaran utama.
11.   Pemanasan (Warming Up)
Tujuan utama pemanasan adalah untuk menghindari diri dari kemungkinan terjadinya cedera otot, sendi, dan anggota tubuh apabila nanti tiba-tiba harus bekerja keras, baik dalam pelatihan maupun dalam pertandingan. Kalau otot dan sendi masih “dingin”, peluang kemungkinan cedera akan besar kalau tiba-tiba harus bekerja lebih keras.
Prosedur pelaksanaan. Prosedur pelaksanaan yang dilakukan harus pula dapat memobilisasi seluruh organisme tubuh untuk siap beraksi dan bereaksi sehingga atlet berada dalam kondisi yang sebaik-baiknya untuk melakukan kerja maksimal. Jadi, prosedur pemanasan sebagai berikut.
a.       Peregangan Statis: untuk semua sendi dan otot, sekedar agar jangan terasa kaku, dapat dipakai metode peregangan pasif asal dilakukan dengan behati-hati untuk menghindari kemungkinan perenggangan secara berlebihan (overstracthing).
b.      Jogging: Usai peregengan statis yang dapat memakan waktu kira-kira 10 menit, pemanasan dilanjutkan dengan lari sejauh sekitar 1.500 m. Perlu  diperhatikan bahwa meskipun joging bukan berarti lari cepat, larinya jangan terlalu lambat (harus sufficiently vigorous) agar ada terasa dampak pelatihan. Tes yang biasanya digunakan adalah talk test. Tujuannya adalah untuk memperlancar peredaran darah dan kerja jantung serta “meringankan” pernapasan. Oleh karena itu, joging harus masuk dalam program pemanasan.
c.       Usai Joging. Setelah joging, dilakukan bentuk pelatihan kalintenik dengan p[eregangan dinamis sebanyak mungkin otot dan sendi dalam tubuh. Dengan demikian, faktor aerobiknya masuk ke dalam otot. Pelatihan peregangan statis tidak cukup merangsang percepatan aliran darah.
d.      Prosedur pemanasan diakhiri dengan melakukan tiga atau empat wind sprints. Cara melakukannya seperti dalam acceleration runs, yaitu mulai lari pelan-pelan, lalu semakin lama semakin cepat sejauh kira-kira 75 m.
Lamanya. Lamanya waktu pemanasan sekitar 30 menit, tetapi dapat juga bergantung padaa suhu udara di suatu daerah atau negara tertentu atau dari sikap cabang olahraga.
Pemanasan sebelum pertandingan penting untuk memfasilitasi datangnya second wind, yaitu perasaan lega dan enteng setelah rasa “sesak napas” di awal pelatihan atau pertandingan. Second wind  hanya dapat didapat melalui lari atau joging dengan intensitas yang cukup tinggi.
Pertandingan atau Cool Down. Program pendinginan didesain untuk mengembalikan fungsi tubuh menjadi normal secra bertahap. Kalau beban pelatihan diturnkan secara bertahap dan kalau beban pelatihan diturunkan secara mendadak, pengaruhnya dapat negatif, baik faaliah maupun psikologis. Dengan melakukan pendinginan, pengambilan akan dapat dipercepat dan akumulasi asam laktat dalam darah dapt berkurang dengan cepat. Pendinginan juga bermanfaat agaar esok hari atlet dapat merasa fit kembali. Rasa kaku, sakit-sakit, atau nyeri otot akibat pelatihan dapat hilang.
Pelaksanannya dapat dilakukan dengan pelatihan ringan, misalnya senam atau joging pelan, dengan maksud mempercepat eliminasi “sampah” pembakaran karena dengan pelatihan ringan akan ada pemasukan oksigen dan restorasi fungsi tubuh kembali normal.
Cloud Callout: “Second
wind”
Di akhir pendinginan dapat juga diberikan pelatihan relaksasi, self hypnose, dan visualisasi.


                Aspek Subjektif. Aspek subjektif tentang second wind dapat dikemukakan sebagai berikut.
                Pada waktu kita mulai melakukan pelatihan yang berat dengan intensitas tinggi, seperti lari, mendayung, dan lomba bersepeda, sering kali timbul satu perasaan sesak napas. Keadaan itu dapat dikatakan disebabkan organisme tubuh kita dari keadaan istirahat tiba-tiba dimobilisasi untuk bekerja keras. Akan tetapi, apabila pelatihan itu diterusakn, rasa tidak enak akan menghilang dan akan berganti menjadi rasa lega, ringan, dan bebas. Perasaan demikian itu menandakan bahwa second wind telah tiba.
                Gejala yang mendahului datangnya second wind beragam. Misalnya, raut muka memperlihatkanb rasa cemas, frekuensi pernapasan menjadi cepat dan dangkal, denyut nadi menjadi cepaty dan tidak teratur iramanya, kepala pusing, dada sesak, dan kadang-kadang timbul rasa sakit di otot. Namun, yang paling jelas adalah adanya perasaan kehabisan napas. Situasi demikian dapat disebut juga sebagai first wind atau angin pertama.
                Overkompensasi. Jadi, dengan datangnya second wind, segala perasaan kurang enak sering hilang secara tiba-tiba sehingga pelatihan atau pertandingan dapat dilakukan dengan lega. Rasa cemas hilang, kepala terasa ringan, otot serasa punya energi baru, serta jantung pun berdenyut lebih lambat dan lebih teratur. Hal itu juga dapat menjadi pertanda bahwa tahap over kompensasi telah tiba.
                Warm up. Jadi, apa implikasinya bagi pelatih ? pelatih harus menjaga atletnya agar jangan sampai mengalami “angin pertama” atau perasaan kehabisan napas di tengah-tengah ketika sedang bertandikng sebab akibat rasa tidak enak itu akan terjadi degradasi dalam keterampilan dan kondisi fisik. Oleh karena itu, pelatih harus mengusahakan agar atlet sebelum pertandingan dimulai sudah berada dalam kondisi second wind. Bagaimana caranya ?
                Salah satu caranya ialah dengan memberikan warm up yang baik dan intensif (baca uraian mengenai warming up). Jadi, jogingnya harus sufficiently vigorous, tidak santai-santai bagaimana sering kita lihat dilakukan oleh atlet. Teslah dengan talk task. Kalau sementara lari, atlet bicaranya tidak jelas (gagap) atau tidak dapat bersiul, hal itu menandakan bahwa larinya sudah lumayan intensif.
                Intensitas yang kurang dari patokan di atas itu tidak akan men-dongkrak munculnya “angin pertama”. Tubuh tidak dapat beradaptasi karena jogingnya terlalu santai sehingga tidak akan ada dampak pelatihan dan tidak akan pula dapat muncul second wind. Munculnya nanti pada waktu pertandingan dengan segala konsekuensi buruknya, yaitu kepala pusing, dada seperti mau meledak, lemah, letih, dan lesu. Jadi, kinerja juga akan sangat menurun.
                Fisiologis. Kalau kita mulai berolahraga, apabila tiba-tiba intensif, asupan oksigen tidak dapat serta merta memenuhi tuntutan yang diminta oleh aktivitas tersebut. Kalau pun kita dapat suplai oksigen, kita terpaksa menggunakan sumber energi, seperti ATP, CP, dan glikoen, yang sangat sedikit persediaan dalam tubuh kita. Kalau kita hanya menggantungkan diri pada ATP dan CP yang amat sedikit itu, akan terjadi kekurangan oksigen. Hal itu akan mnemunculkan pembentukan asam laktat yang akan menghambat kinerja kita.
                Namun, kalau asupan oksigen mulai cukup untuk meladenii tuntutan aktivitas yang kita lakukan, akan terjadi steady state dan aktivitas dapat kita lanjutkan dengan lega selama kita mampu menyediakan sumber tenaga/oksigennya.


Explosion 1: Memperbaiki
 




Coach causes, not symptoms, artinya pada waktu menerangkan mengenai suatu kesalahan, pelatih harus menekankan sebab  terjadinya kesalahan, bukan pada gejalanya. Jadi, kalau atlet anda lompat tinggi tidak kian naik, jangan mengcoach-nya loncatmu kurang tinggi, tetapi carilah sebab-sebab mengapa ia tidak kian tinggi lompatannya. Mungkin karena awalnya kurang cepat, mungkin tolakannya kurang keras, atau mungkin sikap di atas mistar tidak sesuai dengan hukum biomekanik.
                kalau terjadi beberapa kesalahan sekaligus, mulailah memperbaiki satu teknik bagian terlebih dahulu dan jangan ingin mencoba untuk memperbaiki semua teknik bagian yang salah sekaligus. Kalau satu teknik bagian sudah berhasil di kuasai dengan baik, barulah kita pindah ke teknik bagian yang lain.
                Contoh: Seorang pemanah melakukan tiga kesalahan teknik secara serempak dan sekaligus pada waktu melepaskan anak panah, yaitu (a) siku kanan turun (seharusnya bergerak lurus ke belakang), (b) kepala bergerak karena ingin melihat jalannya anak panah (seharusnya tetap tinggal diam), dan (c) lengan kiri bergerak ke bawah (seharusnya tetap diam dan menunjuk sasaran). Dalam keadaan demikian, perbaikilah dan latihlah salah satu teknik bagian terlebih dahulu, misalnya siku kanannya dan jangan pedulikan dahulu kesalahan pada kepala atau lengan kiri.
                Setelah berulang kali (mungkin puluhan kali) mencurahkan konsentrasinya pada teknik gerakan siku kanan, niscaya suatu ketika akan ada perbaikan pada teknik siku kanan tersebut. Kalau sudah tampak perbaikan, barulah konsentrasi dipindahkan ke teknik bgian yang lain, yaitu kepala atau lengan kiri. Metode itu disebut metode drill-on-parts. Metode ini didasarkan pada asumsi bahwa manusia sukar untuk dapat berkonsentrasi pada dua aspek pun bukannya akan mengakibatkan hasil 50% pada setiap aspek, tetapi biasanya kurang dari itu.



BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
                Seorang pelatih membahas dan memecahkan permasalahan menyangkut kepelatihan dengan mempelajari ilmu-ilmu yang menunjang. Permasalahan yang timbul dalam dunia kepelatihan kompleksitasnya sangat tinggi, sebagai contoh apabila sang atlet mempunyai kondisi fisik yang lemah, antisipasi seorang pelatih harus meningkatkan kondisi fisik tersebut, dilain sisi akan tertundanya proses latihan teknik, mental dan keterampilan, hal semacam ini dilakukan bersama-sama atau bagian demi bagian dalam proses, disinilah bahwa pelatih juga dapat dikatakan sebagai seniman, yaitu antara memadukan seni latihan fisik dan seni latihan keterampilan. Dan pada akhir semua komponen latihan ini menjadi satu kesatuan pola cara melatih keseluruhan dan menghasilkan prestasi yang optimal.
B.      Saran
Untuk menjadi seorang pelatih yang baik harus memahami teori dan metodologi latihan seorang pelatih dituntut menguasai berbagai ilmu pendukung yaitu, Kesehatan olahraga, anatomi, fisiologi, statistika, biomekanika, tes pengukuran, kebugaran jasmani, psikologi, ilmu pendidikan, sejarah, belajar gerak, sosiologi, dan ilmu gizi.
Daftar Pustaka
Bompa,Tudor O.1994,Theory and methodology of training.debuque lowa:kenda/hunt publishing company
Harre,Dietrich.1992.Principles of sport Training.Berlin:sportverlg
___________.2004.perencanaan program pelatihan .Edisi II Bandung:FKOP-UPI
Harsono.2005.coaching dan aspek-aspek psikologis dalam coaching .jakarta:CV Tambak kusuma
Katch frank J.Mc.Ardle,William.1993.Nutrition,Weight control,and Exercise.Philadelpia:lea and Febiger.
Thomas,Vaughan,1970.science and sport.london: Faber&Faber