KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT. karena atas rahmat dan hidayah-nya
kami kelompok 2 bisa menyelesaikan makalah yang berjudul Teori dan Metodologi
Pelatihan ini tepat pada waktunya. Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas mata kuliah
Ilmu Kepelatihan Dasar.
Makalah
ini masih jauh dari sempurna oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat
membangun. Semoga makalah ini dapat berguna bagi setiap pembacanya.
Makassar, 14 Desember 2015
Penyusun
Daftar isi :
Kata
Pengantar………………………………………… 1
Daftar
isi………………………………………………. 2
BAB I Pendahuluan…………………………………… 3
A. Latar
Belakang…………………………………….. 3
B. Tujuan……………… ……………………………... 3
BAB II
Pembahasan………………………………….. 4-27
A. Pentingnya
pelatih………………………………… 4
B. Iptek………………………………………………. 5
C. Tugas, peran,
dan kode etik pelatih………………. 6-10
D. Tujuan
pelatihan…………………………………... 10-26
BAB III
Penutup……………………………………... 27
A. Kesimpulan……………………………………….. 27
B. Saran……………………………………………… 27
Daftar Pustaka ……………………………………….. 28
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ilmu Pelatihan adalah ilmu terapan yang mempelajari masalah-masalah
atelt, pelatih, proses berlatih-melatih, pertandingan, evaluasi hasil latihan
dalam rangka mencapai prestasi yang maksimal, atau suatu ilmu yang mempelajari
teori dan metodologi latihan guna mencapai prestasi yang maksimal.
Sebagai ilmu
terapan, ilmu kepelatihan mengandung makna seni dan empiris. Seni berarti dalam
penerapannnya perlu memperhatikan keunikan sifat dan karakter atlet yang
beraneka ragam sehingga suatu metode melatih yang diterapkan untuk atlet yang
berbeda terkadang tidak dapat diperoleh hasil yang sama, sedangkan empiris
berarti semakin banyak seorang pelatih menerapkan ilmunya semakin pandai
memilih metode yang tepat bagi atletnya.
Ciri-ciri
yang dimiliki ilmu kepelatihan olahraga antara lain: proses pendidikan,
berlatih terus menerus, kekhususan cabang olahraga, kompetisi yang diatur
dengan pertandingan, sportifitas, kesadaran dan kesukarelaan dan prestasi
prima.
Pelatih
sebagai bagian dari sistem pembinaan prestasi olahraga, merupakan tokoh kunci
yang harus memahami tatacara pelatihan yang benar, yakni dengan menguasai ilmu
pelatihan atau teori dan metodologi latihan yang berisi konsep-konsep dasar
aplikatif ilmiah yang dapat dipergunakan sebagai dasar untuk melakukan kegiatan
pelatihan dengan resiko sekecil mungkin.
untuk dapat memahami teori dan metodologi latihan seorang pelatih dituntut menguasai berbagai ilmu pendukung antara lain: Kesehatan olahraga, anatomi, fisiologi, statistika, biomekanika, tes pengukuran, kebugaran jasmani, psikologi, ilmu pendidikan, sejarah, belajar gerak, sosiologi, dan ilmu gizi.
untuk dapat memahami teori dan metodologi latihan seorang pelatih dituntut menguasai berbagai ilmu pendukung antara lain: Kesehatan olahraga, anatomi, fisiologi, statistika, biomekanika, tes pengukuran, kebugaran jasmani, psikologi, ilmu pendidikan, sejarah, belajar gerak, sosiologi, dan ilmu gizi.
B.
Tujuan
·
Agar pembaca mampu memahami apa itu Teori dan
metodologi dalam kepelatihan
·
Agar pembaca mampu menjelaskan Teori dan metodologi
dalam kepelatihan
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
PENTINGNYA
PELATIH
Pelatih adalah sosok yang penting
artinya bagi setiap atlet. Oleh karena itu, tanpa bimbingan dan pengawasan
seorang pelatih, prestasi yang tinggi akan sukar dicapai. Seorang pelatihakan
lebih mudah melihat kesalahan teknik yang di lakukan oleh atlet daripda atlet
itu sendiri.
Akan tetapi, dengan sendirinya pelatih
haruslah betul-betul mengetahui segala seluk-beluk mengenai cabang olahraga
yang di latihnya, yaitu mengenai teknik dan taktik melakukan cabang
olahraganya, demikian pula mengenai bagaimana melatih fisik serta mental yang
sesuai dengan karakteristik cabang olahraga yang di latihnya, mengenai
peraturan permainan, peralatan, dan lain-lain. Pengetahuan setengah-setengah
saja tidak akan banyak manfaatnya,malah mungkin justru akan merusak atau
menyesatkan atlet.
Di dalam dunia
pelatihan, ada semacam moto yang berbunyi sebagai berikut:
1.
Tinggi rendahnya prestasi atlet adalah cerminan
dari tinggi rendahnya mutu pengetahuan dan keterampilan pelatihnya.
2.
Apa yang dikiprahkan oleh atlet dalam
pertandingan adalah cerminan dari apa yang telah di berikan pelatihnya dalam
pelatihan(HARSONO, 1988).
Seorang pelatih
sering kali di citrakan orang sebagai pendidik, ilmuan, organisator, dan
manajer yang baik. Namun, ada pula yang mencitrakannya sebagai sosok yang
mempunyai disiplin, keras, galak, suka marah, suka “menyiksa” atletnyasewaktu
pelatihan. Apa pun dan bagaimana pun gaya atau falsafah pelatih, ia wajib
memahami peran, tugas dan kewajiban yang sebenarnya sebagai seorang pelatih
agar ia dapat sukses dalam kariernya sebagai pengasuh para atletnya, termasuk
perannya sebagai guru dan pedagang.
B.
IPTEK
Peranan IPTEK
zaman sekarang, metode dan teknik melatioh sudah menjadi ilmu pengetahuan yang
semakin canggih. Oleh karena itu, untuk menjadi pelatih yang berhasil, pelatih
harus memiliki pengertian dan pengetahuan beberapa subdisiplin ilmu yang erat hubungannya dengan masalah
pelatihan dan yang menetukan prestasi olahraga, seperti ilmu pendidiklan
jasmani, pembelajaran gerak, ilmu faal olahraga, anatomi, psikologi olahraga,
prisnsip dan metodelogi pelatihan, biomekanika, serta ilmu mengenai pertumbuhan
dan perkembangan anak.
Pelatihan
harus juga dapat meninggalkan cara – cara melatih statis tradisional yang
sudah usang meskipun cara atau metode tersebut dahulu dirasakan berhasil.
Pelatih yang masih saja mengawetkan cara demikian dan menolak konsep melatih
yang modern tidak akan sukses dalam karier melatihnya untulk jangka panjang.
Pelatih harus adapt to change serta
harus peka terhadap perubahan dan pembaruan. Hal ini selaras dengan postulat
yang mengatakan bahwa “Tanpa Pembaruan
tidak akan ada perubahan dan tanpa perubahan tidak akan ada kemajuan”.
Penyebab
pelatih yang belum mau meningglakan cara melatih yang statis tradisional mungkin karena latar belakang pendidikannya
kurang cukup ,menunjangnya untuk merubah atau karena ia sudah merasa terlalu
mapan dan yakin dengan sistem cara melatih, terutama sewaktu dia menjadi atlet
atau juara.
Coaching
sebagai ilmu dan seni. Jadi, kita melihat bahwa penelitain bahwa pelatihan atau
coaching adalh suatu ilmu atau science karena tanpa didukung oleh membantu
atlet secara maksimal dan prestasi atlet pun akan menurun.
Akan
tetapi, penguasaan ilmu saja bukan satu-satunya syarat untuk untuk dapat
menjadi pelatih yang berhasil. Coaching adalah juga seni art. Seninya terletak
pada implementasi, aplikasi, dan penerapan dari fakta ilmiah ke dalam bidang
coaching. Banyak pelatih merasa bahwa cara penerapan itu jauh lebih sukar
daripada mempelajari ilmu itu sendiri. Keterampilan seni dalam caoching hanya
akan diperoleh melalui pengalaman dan pengamatan yang lama dan tekun di
lapangan, dan bukan melalui 1 atau 2 kali fasilitaoran pelatih.
c.
TUGAS,
PERAN, DAN KODE ETIK PELATIH
Gelar coach atau
pelatih adalah gelar atau sebutan yang memancarkan rasa hormat, respek, status,
dan tanggung jawab. Ia adalah juga seorang guru, pendidik, bapak, dan teman
sejati. Sebagai guru, ia disegani, sebagai bapak ia dicintai, dan sebagai teman
sejati ia yang dipercayai dan merupakan tempat untuk mencurahkan isi hati.
Seoarang coach senantiasa npendidik atau seorang guru. Seoarng coach
mencerminkan manusia bagaimana yang
tumbuh dan berkembang di bawah asuhannya. Ada yang mengatakan bahwa A coach is a beter teacher.
Hampir sama
denga falsafah, kode etik juga suatu perangkat peraturan dan prinsip-prinsip
yang menuntun orang dalam perilakunya sehari-hari. Etik adalah suatu disiplin
yang biasanya mengacu pada masalah yang berhubungan dengan baik dan buruk
dengan kewajiban dan tanggung jawab moral.
Beberapa tuga
utama, peran, dan keperibadian pelatih, termasuk kode etik pelatih yang kental
dengan nuansa pedagogi (pedagogy of coaching) perlu diperhatikan oleh para
pelatih olahraga antara lain, adalah sebagai berikut.
Perilaku. Pertama-tama, perilaku serta
tabiat seorang pelatih haruslah bebas dari cela dan cerca. Ia harus selalu
ingat bahwa, baik anak didik maupun masyarakat sekitar, memandang dirinya
sebagai seorang manusia model. Atlet, terutama yang masih muda, sering kali
mengidentifikasi dirinya dengan perilaku dan tabiat pelatihnya.
Kepemimpinan . Pelatih harus merupakan seorang individu yang dinamis, yang
dapat memimpin dan memberikan motivasi kepada anak asuhannya kepada para
pembantunya.
Ia
harus pula dapat menerima pandangan serta pendapat orang lain. Keputusan dan
sikapnya harus tegas, tidak meragukan, apalagi menrcurigakan. Demikian
pula,wibawa sebagai pemimpin harus tetap di pegang teguh, baik setelah suatu
kemenangan yang gampang maupun setelah suatu kekalahan yang menyayat hati.
Sikap sportif. Seorang coach harus pula
mencerminkan contoh dari sportivitas yang baik. Oleh karena itu, pelatih harus
pula mengajarkan sikap sportif kepada para atletnya. Atlet harus di latih untuk
bermain fors dan berjuang sebaik-baiknya, tetapi dengan cara-cara yang jujur
dan sportif(fair). Pelatih harus menanamkan sifat agresif pada para atletnya.
Jujur, disiplin, bermain keras, dan agresif, tetapi bersih dan tidak melakukan
perbedaan di antara para atletnyamerupakan beberapa sifat sportivitas yang
baik. Sportivitas harus diajarkan dan di praktikkan secara kontinu agar atlet lama-kelamaan
terbiasa untuk berlaku sportif.
Menangani menang kalah. Pelatih harus
menangani kemenangan dan kekalahan secara baik, yaitu rendah hatidan santun
dalam dalam kemenangan dan menerima kekalahan dengan tabah dan besar hati
(modest in viktoriand gracious in thefeat). Pelatih yang selalu memarahi atlet
yang kalah hanya akan menciptakan atlet yang penakut. Atlet yang demikian
biasanya hanya akan memaksa kemenangan melalui rasa takut, dan bukan rasa
senang.
Pengetahuan dan keterampilan. Tidak
boleh di ragukan lagi bahwa pengetahuan sampai hal-hal terperinci tentang olahraga
yang di latihnya, baik aspek fisik, teknik taktik, mental peraturan
pertandingan, sistem pelatihnya, maupun penyusunan program pelatihnya, mutlak
harus di kuasai seorang pelatih. Pelatih juga harus terampil dan tangkas
melakukan olahraga yang di latihnya. Jadi, jelas kiranya bahwa pengalamannya
sebagai atlet dalam cabang olahraga yang di latihnya amat penting.
Keseimbangan emosional. Kemampuan untuk
bersikap lugas, wajar, dan tenang dalam keadaan tertekan merupakan tolak ukur
dari keseimbangan emosional dan kedewasaan seseorang dalam tugas pelatih
sebagai pembimbing dan pengasuh anak muda. Penting baginya untuk tetap
berkepala dingin bukan hanya pada waktu pelatihan, melainkan juga di luar itu.
Seorang
pelatih akan sering kali berada dalam keadaan stres, emosional, dan suasana
tegang yang berkepanjangan, terutama selama kompetisi sedang berlangsung. Oleh
karena itu, kecuali harus mampu mengendalikan diri, ia harus juga dapat
memberikan pengaruh ketenangan kepada atletnya. Di dalam pertandingan dan
situasi stres dan tegang, pelatih harus merupakan orang yang paling stabil di
dalam timnya.
Imajinasi.
Dalam banyak hal, imajinasi merupakan basis atau dasar kegiatan olahraga.
Pelatih yang imajinatif adalah pelatih yang mampu membayangkan pola permainan
baru, sistem pertahanan dan penyerangan baru yanglebih canggih, serta taktik,
teknik, dan metode pelatihan yang lebih efektif dan efisien. Coach yang
demikian adalah coach yang inovatif yang selalu gelisah untuk menemukan sesuatu
yang baru dalam tugasnya sebagai pelatih. Mereka sering dijuluki sebagai master
strategist and tacticans dalam olahraga (Harsono: 2005).
Humor. Suatu
sifat yang tampaknya remeh, tetapi sering pula ikut menentukan sukses atau
tidaknya seorang pelatih adalah sense-nya atau cita rasanya akan humor. Banyak
atlet yang berpendapat bahwa humor adalah sifat yang terpenting dimiliki
seorang pelatih.
Kemampuan
untuk membuat orang lain merasa relaks dengan jalan memberikan humor atau
candayang sehat dan menyegarkan merupakan faktor penting guna untuk mengurangi
ketegangan dan membangkitkan optimisme baru, baik dalam pelatihan maupun
sebelum sesudah pertandingan.
Kebugaran.
Kiranya dapat dibayangkan betapa berat sebenarnya pekerjaan seorang pelatih. Di
samping tugas kesehariannya, ia harus pula mempersiapkan rencana pelatihan
untuk esok hari serta mengevaluasi dan menganalisis pekerjaannya yang lalu.
Sering kali pula ia harus ikut bermain dengan atletnya atau memberikan
demonstrasitentang teknik yang benar. Tugasnya tidak berbatas pada hal itu
saja. Ia juga harus mampu mengorganisasi program pelatihan dan pertandingan
serta meng-inventarisasikan data pribadi atlet, dan kondisi fisiknya, kemajuan
dan kemunduran prestasinya, dan sebagainya. Oleh karena itu kesehatan dan
vitalitas yang prima adalah penting untuk di miliki seorang pelatih agar ia
dapat selalu dinamis dan penuh energi di lapangan.
Pendewasaan anak. Partisipasi dalam
olahraga merupakan bagian yang penting dalam proses pendewasaan anak menjadi
media bagi para atletmuda untuk belajar nilai-nilai hidup serta menumbuhkan
watak dan budi pekerti, seperti kepemimpinan,pengambilan inisiatif, ambisi,
disiplin, dan berpikir positif.
Kegembiraan berlatih. Pelatih harus
dapat mengajarkan kegembiraan
(enjoyment) dalam bermain dan berlatih. Kalau pelatihan atau
pertandingan hanya di anggap suatu siksaan oleh atlet, kegembiraan berlatih dan
kegembiraan bertanding (the joy of training and competiting) akan hilang.
Banyak kasus drop out dalam olahraga terjadi karena atlet tidak lagi menemukan
kegembiraan dalam pelatihan.
Harga wasit. Pelatih harus dapat
menghargai keputusan wasit dan official pertandingan lain.
Hargai tim tamu. Pelatih harus
memperlakukan tim tamu sebagai tamu yang harus di hormati, bukan justru sebagai
saingan yang tujuannya untuk mengalahkan timnya. Tamu harus di hargai sebagai
teman bermain dan bertanding yang sama-sama ingin menyuguhkan permainan yang
seru, tetapi sportif dan bermutu serta untuk menguji siapa yang terbaik dari
kedua tim tersebut melalui perjuangan yang gigih, tetap sportif, dan fair.
Perhatian Pribadi.
Setiap atlet harus merasa bahwa ia mendapat perhatian dari pelatih. Atlet ingin
agar ia diakui (recognized) sebagai orang, dan bukan sebagai sesuatu yang hanya
di gunakan untuk pertandingan sebab kalau begitu akan ada keengganan
(resentmen) atlet untuk berlatih.
Bersikap positif.
Biasanya kalau kita mersakan stres, tegang, atau takut, kita cenderung akan
berpikir tentang kelemahan kita. Susahnya kalau kita pusatkan perhatian kita
pada kelemahan (menjadi berpikir negatif) biasanya akan menjadikan lemah.
Namun, kalau iner speaking kita berubah menjadi positif, biasanya perilaku (behaviour)kita
pun akan berubah menjadi positif.
Para pakar
psikologi mengatakan “change your master program in your subconcious, mind, and
it will change your life”. Ada yang mengatakan bahwa pelatihan amat intensifpun
kalau tidak di barengi dengan pelatihan mengubah subconciuous mind akan percuma
saja.
Siap mental. Kalau kita sudah bertekad
dan berani untuk menjadi pelatih olahraga, secara mental kita harus sudah
bersiap untuk:
Ø mengabdikan
diri sepenuhnya demi kebesaran dan keagungan profesi dan olahraga,
Ø mengamalkan
seluruh pengetahuan kita kepada semua orang, dan
Ø berani
“berkorban”, baik fisik maupun mental, tidak mengharapkan pujian kalau atlet
menang dan siap untuk menerima kritikan pedas kalau atlet kalah.
PELATIHAN
1.
Berikan ulasan mengenai pentingnya pelatih
2.
Bicarakan beberapa tugas, peran, dan tanggung
jawab pelatih
3.
Diskusikanlah masalah iklmu dan seni coaching
4.
Berikan beberapa contoh fair play
5.
Bagaimana sebaiknya menangani kemenangan daan
kekalahan?
6.
Diskusikanlah masalah berbagai tipe kepribadian
pelatih serta keuntungan dan kelemahannya
C.
TUJUAN
PELATIHAN
Tujuan
serta sasaran utama dari pelatihan atau training adalah untuk membantu atlet
untuk meningkatkan keterampilan dan prestasinya semaksimal mungkin. Untuk
mencapai hal itu, ada empat aspek pelatihan yang perlu diperhatikan dan dilatih secra seksamaa oleh atlet, yaitu
(a) pelatihan fisik, (b) pelatihan teknik, (c) pelatihan taktik, (d) pelatihan
mental.
1.
Pelatihan
fisik (Physical Training)
Perkembangan
kondisi fisik yang menyeluruh amatlah penting karena tanpa kondisi fisik yang
baik atlet tidak akan dapat mengikuti pelatihan dengan sempurna. Tujuan
utamanya adalah untuk meningkatkan potensial faal dan mengembangkan kemampuan
biomotorik ke tingkat yang setinggi-tingginya agar kondisi fisik dikembangkan
dengan urutan:
a.
Persiapan fisik umum
b.
Persiapan fisik khusus, dan
c.
Persiapan fisk yang amat spesifik yang
diperlukan oleh cabang olahraga yang bersangkutan (Harsono, 2004)
Nomor (a) dan
(b) ditekankan pelatihannya di tahap persiapan gunba meletakan dasar-dasar
kondisi fisik yang solid.
2.
Pelatihan
Teknik ( Technikal Training)
Yang dimaksud dengan pelatihan teknik adalah pelatihan untuk memahirkan
teknik gerakan yang diperlukan agar atlet terampil melakukan cabang olahraga
yang digelutinya. Semakin sempurna tekniknya, semakin sedikit pukla energi yang
perlu dikeluarkan untuk melakukan teknik tersebut, berarti pula pengeluaran
tenaganya pun menjadi ekonomis dan efesien.

Dalam setiap cabang olahraga tentu ada kesepakatan mengenai suatu standar
teknik yang sempurna dan yang oleh setiap pelatih dijadikan model untuk
diajarkan kepada anak asuhnya. Teknik yang sempurna adalah teknik yang secara biomekanik
benar dan secara fisiologis efesien.
Cepat tidaknya atlet mampu menguasai suatu teknik tertentu amat
bergantungpula dari kesepakatan fisk atlet sebab kesiapan fisik yang tidak
cukup akan pula memperlambat atau
membatasi kemajuan atlet dalam pembelajaran teknik, seperti ditingkatkan, ...learning and especially the perfection of
skill is limited”.
Teknik dan Gaya. Ada sementara orang yang menyamakn istilah teknik
dan gaya (style). Sebenarnya teknik adalah model yang harus diikuti waktu
mempelajari suatu gerakan tertentu, sedangkan gaya adalah pola individual dalam
melakukan suatu keterampilan. Struktur dan bentuk utama dari suatu model tidak
berubah. Namun, karakteristik serta faktor anatomi dan fisiologi dari individu
atlet dapat berbeda dab sering kali tidak sama. Oleh karena itu, gaya seseorang
dapat berbeda dengan gaya atlet lain. Jadi, seperti kita ketahui, adaa pelompat
tinggi yang menggunakan gaya stradlle dan ada pula yang melompatnya dengan gaya
fosbury.
3.
Pelatihan
Taktik (Tactical Training)
Tujuan pelatihan
taktik adalah untuk menumbuhkan perkembangan interperatif atau daya tafsir pada
atlet. Teknik gerakan yang telah dikuasai dengan baik kini haruslah dituangkan
dan diorganisasi dalam pola permainan, bentuk, dan formasi permainan serta taktik
pertahanan dan penyerangan sehingga berkembang menjadi suatu kesatuan gerak
yang sempurna (smoothly fuctioning unit).
Pelatihan atau
perencanaan taknik hanya akan dapat sukses manakala tingkat kemahiran teknik
setiap anggota tim sudah sempurna. Jadi, keterampilan teknik merupakan faktor
penting dalam meningkatkan kemampuan manuver taktis atau taktik dan merupakan
pengejawantahan dari fungsi teknik
atlet.
Dalam persiapan
pelatihan taktik, yang dilakukan pelatih sebagai berikut:
a.
Mempelajari peraturan permainan dan pertandingan
cabang olahraganya
b.
Menyelidiki kemampuan strategis dan taktis calon
lawan
c.
Mengetahui potensi fisik dan mental caalon
lawan, dan
d.
Mengembangkan kemampuan taktik individual dalam
menghadapi pertandingan yang akan datang yang didasarkan pada kekuatan dan
kelemahan setiap individu
4.
Pelatihan
Mental ( Psycological Training)
Perkembangan
mental atlet tidak kurang pentiungnya
per-kembangan ketiga faktor tersebut sebab betapa sempurna pun perkembangan
fisik, teknik, dan taktik atlet apabila mentalnya tidak turut berkembang,
prestasi tinggi tidak mungkin akan dapat di capai. Pertandingan adalah 80%
masalah mental dan hanya 20% yang lain .kesalahan umum para pelatih kita adalah
bahwa aspek psikologis yang sangat penting artinya itu sering diabaikan atau
kurang diperhatikan pada waktu melatih karena mereka hanya menekankan pelatihan
guna penguasaan teknik,taktik,dan pembentukan keteramfilan yang sempurna,
sedangkan perkembangan secara alamiah atau kebetulan saja. Pelatihan mental
harus diberikan secara sengaja,sistematis,voluntari dan internsional.

Training adalah proses yang sistematis dari berlatih atau bekerja yang di
lakukan secara berulang-ulang dengan demikian hari kian menambah beban
pelatihan atau pekerjaannya .( harsono,2005 )Yang di maksud dengan sistematis
adalah berencana, menurut jadwal, menurut pola, dan sistem tertentu, metodis,
dari mudah ke sukar, serta pelatihan pelatihan yang teratur dari yang sederhana
ke yang lebih kompleks.
![]() |
Prinsip-prinsip pelatihan yang akan dikemukakan adalah prinsip-prinsip
yang amat mendasar, tetapi penting dan yang dapat diterapkan pada setiap cabang
olahraga. Prinsip-prinsip itu haruslah diketahuidan benar-benar dimengerti oleh
pelatih atau atlet. Suatu kekurangan yang umum yang terdapat pada atlet dan
pelatih kita adalah bahwa mereka kurang mengetahui prinsip serta tujuan
pelatihan sehingga tidak mungkin atlet dapat dilatih dengan sukses dan tidak
mungkin pula pelatih mampu menyusun program pelatihan dengan benar.
1.
Prinsip beban lebih (overlad
principle)
Prinsip overload adalah prinsip pelatihan yang bpaling mendasar, tetapi
paling penting karena tanpa penerapan prinsip dalam pelatihan, tidak mungkin
prestasi atlet akan meningkat. Prinsip itu mengatakan bahwa beban pelatihan yang di berikan kepada atlet
haruslah yang cukup tinggi dan cukup bengis. Kalau pelatihan yang di lakukan
secara sistematis, tubuh atlet akan dapat menyesuaikan diri semaksimal mungkin
pada pelatihan berat yang di berikan serta dapat bertahan terhadap stres yangb
ditimbulkan oleh pelatihan berat, baik stres fisik maupun stres mental.
Penambahan beban. Satu hal yang perlu diperhatikan dalam menetapkan
sistem overload adalah untuk jangka memberikan beban pelatihan yang terlalu
berat yang dioerkirakan tidak mungkin akan dapat diatasi oleh atlet. Kalau
pelatihannya terlalu berat, sistem faaliah dalam tubuh kita tidak akan mampu
untuk menyesuaikan diri dengan stresyang terlalu ekstrem beratnya.
Sistem tangga. Dalam mendesain pelatihan overload, pelatih disarankan
untuk menerapkan sistem tangga (the step type approach) atau sering pula
diistilahkan dengan wave-like system (sistem ombak), yaitu penambahan beban
pelatihan secara bertahap yang di selingi dengan tahap unloading (pengurangan
beban).
2.
Perkembangan Menyeluruh
Perlibatan dalam Beragam Aktivitas. Berdasarkan teori perkembangan
menyeluruh (multilateral), pelatih sebaiknya jangan terlalu cepat membatasi
atlet (terutama atlet muda) dengan program pelatihan yang menjuras pada
perkembangan spesialisasi yang sempit yang terlalu dini. Atlet, selain
melakukan cabang olahraga sepesialisasinya, ia juga harus diberi kebebasan
menjelajahi beragam aktivitas keterampilan fisik lain, terutama yang
membangkitkan otot, keseimbangan, kelincahan, dan “kehabisan” napas, demikian
juga tantangan mental sosial.
Apabila perkembangan itu telah mencapai suatu tingkat yang cukup
memuaskan, khusunnya perkembangan fisik atlet, atlet kemudian memasuki jenjang
pelatihan yang kedua, yaitu tahap spesialisasi dalam cabang olahraga yang
dianutnya. Hal itu kemudian akan membimbing atlet pada karier olahraga yang
paling tinggi, yaitu jenjang pelatihan untuk prestasi maksimal.
Atlet yang dasar perkembangan multilateralnya baik, biasannya ia juga
akan mencapai prestasi optimal dalam waktu yang lebih cepat dan biasanya ia
juga akan dapat bertahan di puncak (holding powernya) lebih lama ketimbang
atlet yang berkembang dasarnya tidak atau kurang menyeluruh.
3.
Spesialisasi
Apapun cabang olahraga yang diikutinya, tujuan serta motif atlet biasanya
adalah untuk melakukan spesialiasasi dalam cabang olahraga sebab hanya dengan
spesialisasi ia akan dapat memperoleh sukses dan menonjol prestasinya dalam
cabang olahraga. Spesialisasi berarti men-curahkan segala kemampuan baik fisik
maupun psikis, pada suatu cabang olahraga tertentu.
Mengenai spesialisasi ini, Ozolin (Bompa, 1994) menganjurkan agar
aktivitas motorik yang khusus mempunyai pengaruh yang baik terhadap pelatihan
(terasa efek pelatihannya), pelatihan harus didasarkan pada dua hal, yaitu (a)
melakukan pelatihan yang spesifik bagi cabang olahraga spesialisasi; (b)
melakukan pelatihan yang spesipik untuk mengembangkan biomotorik dibutuhkan
oleh cabang olahraga tersebut.
Penerapan prinsip spesialisasi kepada anak- anak dan atlet muda harus
berpedoman pada prinsip multilateral yang merupakan basis bagi perkembangan
spesialisasi. Banyak pelatih yang mengabaikan realitas itu dan dalam ambisinya
untuk mencapai prestasi yang tinggi secara prematur kepada atletnya mereka
menyuruh atlet untuk melakukan penelitian yang terlalu sulit dan terlalu berat
penyesuaian potensial yang dapat diatasi oleh atlet.
4.
Prinsip Individualisme
Tidak adanya dua orang yang rupanya sama benar dan tidak ada pula dua
orang (apa lagi lebih) yang secara fisiologi dan psikologi sama benar. Setiaap
orang mempunyai perbedaan individu masing-masing. Demikian pula, setiap atlet
berbeda dalam kemampuan, potensi, dan karakteristik belajarnya. Oleh karena
itu, prinsip individualisasi yang merupakan salah satu syarat yang penting
dalam pelatihan kontemporer harus di terapkan kepada setiap atlet sekalipun
mereka mempunyai tingkat prestasi yang sama.
Seluruh konsep pelatihan haruslah disusun sesuai dengan kekhasan setiap
individu agar tujuan pelatihan dapat sejauh mungkin tercapai. Faktor, seperti,
umur, jenis, bentuk tubuh, kedewasaan, latar belakang pendidikan, lamanya
berlatih, tingkat kesegaran jasmani, dan ciri-ciri psikologis, semua harus
dipertimbangkan dalam mendesain program pelatihan bagi atlet. Jadi, simpulannya
ialah bahwa pelatihan memang harus direncanakan dan disesuaikan bagi setiap
individu agar pelatihan dapat memperoleh hasil yang terbaik (the best result)
bagi individu tersebut.
5.
Variasi dalam pelatihan
Pelatihan yang di laksanakan dengan betul biasanya menuntutbanyak waktu
dan tenaga dari atlet. Ratusan jam kerja keras di perlukan oleh atlet untuk
meningkatkan intensitas kerjanya dan untuk semakin meningkatkan prestasinya.
Oleh karena itu, tidak mengherankan pelatihan dan kerja keras dapat menybabkan
rasa bosan (boredom) dan lesu pada dirinya. Dengan demikian, sesi pelatihan
harus sewaktu-waktu di selingi dengan variasi pelatihan untuk “menyegarkan”,
baikb fisik maupun (terutama) psikis.
6.
Intensitas pelatihan
Perubahan fisiologi dan psikologis yang positif hanya mungkin apabila
atlet di latih melalui suatu program
pelatihan yang intensif yang di landaskan pada prinsip overload dengan secara
progresif menambah beban kerja, jumlah pengulangan gerakan (repetition), serta
kadar intenistas dari repitisi tersebut. Keluarnya keringat belum tentu dapat
dipakai sebagai indikasi/patokan intensif atau tidaknya pelatihan.
Insensitas pelatihan mengacu pada jumlah kerja yang dilakukan dalam suatu
unit waktu tertentu atau berat ringannya kinerja yang di lakukan dalam
pelatihan. Semakin banyak kerja yang dilakukan dalam suatau unit waktu
tertentu, semakin tinggi intensitas pelatihannya. Intensif atau tidaknya
pelatihan bergantung pada beberapa faktor:
a.
Beban pelatihan
b.
Kecepatan dalam melakukan gerakan
c.
Lama atau tidaknya interval di antara repitisi,
dan
d.
Stres mental yang dituntut dalam pelatihan.
Berat atau ringannya insensitas. sebagai
patokan, dapat dipakai skala insensitas yang di tawarkan oleh Bompa (1994)
dengan tambahan dari Haerre (1982), seperti berikut ini.
Nomor Entitas
|
Persentase dari Prestasi
Maksimal Atlet
|
intensitas
|
1
2
3
4
5
6
|
30 – 50%
50 – 70%
70 – 80%
80%
90 – 100%
100 – 105%
|
Low
Intermediate
Medium
Submaksimal
Maksimal
Supermaksimal
|
Intensitas pada denyut nadi.klasifikasi
yang di dasarkan pada denyut nadi
sebagaimana di anjurkan oleh Niki forov,(1974) dalam Bompa (1999) adalah
sebagai berikut.
Keempat zona
intensitas di dasarkan pada reaksi DN terhadap beban.
Zona
|
Intensitas
|
DN/menit
|
1
2
3
4
|
Rendah
Medium
Tinggi
Maksimal
|
120 – 150
150 – 170
170 – 185
Lebih dari 185
|
Teori katch dan McArdle. Cara
pengukuran intensitas pelatihan yang
Lain yang tampaknya lebih sesuai untuk dijadikan pedoman adalah cara katch dam
McArdle (Katch dan McArdle, 1983). Rangkumannya adalah sebgai berikut.
Ø
Intensitas pelatihan dapat diukur dengan cara
menghitung denyut nadi dengan rumus:
Denyut nadi
maksimal (DNM)=220-umur(dalam tahun)
Jadi, DNM seseorang yang berumur 20 tahun =220-20=200
denyut/menit
Takaran intensitas pelatihan: untuk OR prestasi: 80-90%.
Jadi, bagi atlet yang berumur 20 tahun, takaran intensitas yang harus di penuhiialah80%x200=
160DN/menit.
Kelemahan:
Teori di atas mengandung beberapa kelemahan, antara
lain, dua orang yang berbeda tingkat kondisi fisiknya, tetapi sama umurnya akan
berbeda reaksinya terhadap patokan intensitas/beban pelatihan yang sama.
Tes 5 menit: Teori katch dan McArdle akan kurang cocok
untuk diterapkan kepada atlet elite yang sama umumnya, tetapi status kondisi
fisiknya berbeda. Oleh karna itu, penentuan intensitas pelatihan bagi mereka sebaiknya di dasarkan pada MHR ( maximum heart rate ) atau DNM yang di
ukur dengan kemampuan kecepatan lain selama 5 menit. Atlet di suruh lari selama
5 menit sedemikian rupa sehingga pada waktu sampai finis usahanya sudah
maksimal (all out). Kemudian, atlet
dihitung denyut nadinya. Denyut nadi
yang di hasilkan adalah MHR atlet
yang bersangkutan. Atlet yaang di latih biasanya DN-nya lebih tinggi ( dapat
sampai 180-200) daripada atlet yang kurang berlatih.
Kalau MHR-nya sudah di ketahui, mudah
saja pelatih menentukan persentase
intensitas pelatihanya.kalau pelatih menuntut persentase pelatih 80%,
atlet harus berlartih intesf sedemikian rupa sehingga denyut nadi pelatih dari
atlet yang MHR-nya 180 harus mencapai 144 DN/menit (80% x 180).
7. Kualitas pelatihan
Berlatih secara
intensif belumlah cukup apabila pelatih
atau dril-dril tidak berbobot, tidak bermutu, dan tidak berkualitas. Tel;atih
yang berkualitas haruslah penuh dengan makna dan harus dilandasi oleh konsep yang jelas tentang apa
yang akan dan harus dilakukan atlet dan berisi dril-dril yang konstruktif
sering di berikan pelatih sampai ke detail gerakan, demikian pula manakala
intervensi iptek di terapkan dalam pelatihan.
Orang dapat saja
berlatih keras, intensif, ssampai kehabisan nafas dan tenaga, tetapi jika isi
pelatihanya tidsk bermutu dan hampa dengan kegiatan yang bermakna, prestasi
atlet tidak akan meningkat. Only perfect
practice makes perfect. pelatihan yang walaupun kurang intensif, tetapi
bermuutu sering kali lebih bermanfaat ketimbang pelatihan yang intensif, tetapi
tidak bermutu.
8.
Volume
pelatihan
volume pelatihan
merupakan bagian penting dalam pelatihan, baik untuk pelatihan fisik, teknik,
maupun taktik. Volume pelatihan tidak sama dengan lamanya (durasi) pelatihan.
Dapat saja pelatihan berlangsung singkat, tetapi materi pelatihannya banyak.
Sebaliknya, pelatihana berlangsung lama, tetapi hampa dengan kegiatan yang
bermanfaat.
Volume pelatihan
ialah kuantitas (banyaknya) beban pelatihan dan materi pelatihan yang di
laksanakan secara aktif. Contohnya, atlet yang diberi pelatihan lari interval
10x400m dengan istirahat di antara setiap repitisi 3menit, volume latihannya
ialah 10x400m = 400m. Kalau setiap 400 m ditempuhnya dengan waktu 70 detik,
volume pelatihannya ialah 10x70 detik= 7000 detik. Jadi, lamanya istirahat di
antara setiap repitisi 9x3 menit= 27 menit, tidak termasuk dalam volume
pelatihan, tetapi termasuk dalam lamanya pelatihan. Jadi, lama pelatihan (dalam
hitungan waktu) adalah 700 detik di tambah 27 detik dan dalam hitungan jarak
lari ialah 4.000m.
Volume latihan dapat di nyatakan
dalam:
a.
Total waktu berlangsungnya kegiatan,
b.
Jarak yang harus ditempuh atau berat badan yang
harus diangkat persatuan waktu, dan
c.
Jumlah repitisi dalam melakukan suatu aktivitas
atau dalam melatih suatu unsur teknik atau keterampilan tertentu. Misalnya,
lari 400m sebanyak 10repitisi atau melempar bola sebanyak-banyaknya dalam waktu satu menit (Bompa, 1994).
Jumlah volume pelatihan. Semakin tinggi
tingkat prestasi atlet, semakin banyak pula jumlah volume pelatihan yang harus
di lakukan. Terdapat korelasi yang
tinggi antara volume pelatihan dan prestasi
yang ingin di capai oleh atlet.
Adaptasi fisologis. Adaptasi fisiologis
tidak mungkin dapat di capai tanpa volume pelatihan yang tinggi. Artinya, kalau
volume pelatihan terlalu sedikit, intensitasnya rendah (kurang dari 60%
maksimal) maka proses adaptasi tidak akan terjadi atau kalau pun ada
adaptasinya kecil sekali.
9.
Lama Pelatihan
Kekeliruan yang
umum di lakukan oleh banyak pelatih adalah bahwa mereka lebih menekankan lamanya
pelatihan daripada penambahan beban pelatihan. Waktu pelatihan sebaiknya
pendek, tetapi tetap berisi dan padat dengan kegiatan yang bermanfaat, kecuali
waktunya byang pendek, pelatihan harus dilakukan dengan usaha yang
sebaik-baiknya dan dengan kualitas atau mutu yang tinggi. Namum, kita harus
pula memperhatikan bahwa “.... as soon as bad features creep into the
performance that particular practice must stop” (Thomas, 1970).
Suatu
keuntungan dari pelatihan yang pendek adalah bahwa hal itu akan terus membawa
atlet dalam alam berpikir tentang pelatihannya. Artinya, segala sesuatu yang
diberikan kepadanya dalam pelatihan dapat terus berdengung dalam pikirannya.
Apabila waktu pelatihan berlangsung terlalu
lama dan terlalu melelahkan,
bahayanya adalah atlet akan memandang setiap pelatihan sebagai siksaan. Selesai
pelatihan, selesai semuanya dan putus pula hubungannya dengan hal-hal yang
berhubungan dengan pelatihan.
10.
Tes Uji Coba
Tujuan mengikuti pertandingan uji
coba, antara lain adalah untuk:
a.
Memberikan pengalaman kepada atlet dan tim untuk
bertanding dalam suasana pertandingan yang sebenarnya dengan peraturan
permainan dan pertandingan yang resmi dan ditonton oleh penonton yang masih
asing bagi mereka.
b.
Mencari
atau mengetahui (kalau ada) kekurangan atlet atau tim, baik dalam aspek
fisik, teknik, taktik, mental, maupun kerja sama tim.
c.
Menguji kemampuan taktis regu dalam menghadapi
berbagai srategi dan taktik lawan yang mungkin bakal dihadapi dalam
pertandingan, dan
d.
Memberikan pengalaman terlibat dalam situasi
stres fisik dan mental pertandingan dan berusaha mengatasinya.
Pertandingan uji
coba mengandung unsur dan potensi belajar yang sangat penting bagi atlet. Atlet
akan dapat banyak belajar dari pengalaman dalam pertandingan uji coba. Lagi
pula, ketangguhan fiski dan mental yang sebenarnya dari atlet akan tampak dan
terungkap jelas dalam situasi pertandingan yang dalam pelatihan sering kurang
tampak. Beberapaa hal yang perlu yang diperhatikan dalam merencankan partisipasi
atlet dalam pertandingan uji coba adalah sebagai berikut.
a.
Sebaiknya hanya atlet yang sudah memiliki
kondisi fisik dan mental serta kemampuan teknis dan taktis yang cukup dan
memaadai yang diizinkan terjun dalam pertandingan uji coba.
b.
Jangan ikuti sembarang tes uji coba di sembarang
waktu. Perlu ada perencanaan unutk tes uji coba.
c.
Teliti dan pilihlah pertandingan yang aptut
diikuti.
d.
Jangan hindari lawan yang setaraf atau yang
lebih kuat dari regu kita karena pertandingan yang tidak mengandung tantangan
tidak akan banyak manfaatnya.
e.
Atlet harus diberi kesempatan untuk ikut dalam
banyak pertandiangan uji coba (tetapiu jangan terlalu banyak). Pertandingan uji
cobva itu penting untuk mendorong atau memaksa atlet tampil secara optimal
(yang dalam pelatihannya biasanya berkurang). Selain itu, tes uji coba jugfa
penting untuk menstabilkan penampilan dalam situasi pertandingan dan untuk
semakin menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi pertabndingan.
Jadwal Uji Coba Tanding. Jadwal
pertandingan uji coba harus disusun dengan cerdik dan sedemikian rupa sehingga
menjamin atlet untuk mencapai prestasi puncaknya pada saat yang tepat.
Perencanaan yang kurang cerdik dan kurang intelegen sering kali justru
“mengacaukan” penampilan optimal peretandingan utamanya, artinya tahap
overkompensasi tidak akan jatuh tepat pada hari pertandingan utamanya. Setiap
pertandingan uji coba haruslah diarahkan pada sasaran utama.
11. Pemanasan (Warming Up)
Tujuan utama
pemanasan adalah untuk menghindari diri dari kemungkinan terjadinya cedera
otot, sendi, dan anggota tubuh apabila nanti tiba-tiba harus bekerja keras,
baik dalam pelatihan maupun dalam pertandingan. Kalau otot dan sendi masih
“dingin”, peluang kemungkinan cedera akan besar kalau tiba-tiba harus bekerja
lebih keras.
Prosedur pelaksanaan. Prosedur
pelaksanaan yang dilakukan harus pula dapat memobilisasi seluruh organisme
tubuh untuk siap beraksi dan bereaksi sehingga atlet berada dalam kondisi yang
sebaik-baiknya untuk melakukan kerja maksimal. Jadi, prosedur pemanasan sebagai
berikut.
a. Peregangan Statis: untuk semua sendi
dan otot, sekedar agar jangan terasa kaku, dapat dipakai metode peregangan
pasif asal dilakukan dengan behati-hati untuk menghindari kemungkinan
perenggangan secara berlebihan (overstracthing).
b. Jogging: Usai peregengan statis yang
dapat memakan waktu kira-kira 10 menit, pemanasan dilanjutkan dengan lari
sejauh sekitar 1.500 m. Perlu
diperhatikan bahwa meskipun joging bukan berarti lari cepat, larinya
jangan terlalu lambat (harus sufficiently
vigorous) agar ada terasa dampak pelatihan. Tes yang biasanya digunakan
adalah talk test. Tujuannya adalah
untuk memperlancar peredaran darah dan kerja jantung serta “meringankan”
pernapasan. Oleh karena itu, joging harus masuk dalam program pemanasan.
c. Usai Joging. Setelah joging, dilakukan
bentuk pelatihan kalintenik dengan p[eregangan dinamis sebanyak mungkin otot
dan sendi dalam tubuh. Dengan demikian, faktor aerobiknya masuk ke dalam otot.
Pelatihan peregangan statis tidak cukup merangsang percepatan aliran darah.
d. Prosedur
pemanasan diakhiri dengan melakukan tiga atau empat wind sprints. Cara melakukannya seperti dalam acceleration runs, yaitu mulai lari pelan-pelan, lalu semakin lama
semakin cepat sejauh kira-kira 75 m.
Lamanya. Lamanya waktu pemanasan
sekitar 30 menit, tetapi dapat juga bergantung padaa suhu udara di suatu daerah
atau negara tertentu atau dari sikap cabang olahraga.
Pemanasan
sebelum pertandingan penting untuk memfasilitasi datangnya second wind, yaitu perasaan lega dan enteng setelah rasa “sesak napas”
di awal pelatihan atau pertandingan. Second
wind hanya dapat didapat melalui
lari atau joging dengan intensitas yang cukup tinggi.
Pertandingan
atau Cool
Down. Program pendinginan didesain untuk mengembalikan fungsi tubuh
menjadi normal secra bertahap. Kalau beban pelatihan diturnkan secara bertahap
dan kalau beban pelatihan diturunkan secara mendadak, pengaruhnya dapat
negatif, baik faaliah maupun psikologis. Dengan melakukan pendinginan,
pengambilan akan dapat dipercepat dan akumulasi asam laktat dalam darah dapt
berkurang dengan cepat. Pendinginan juga bermanfaat agaar esok hari atlet dapat
merasa fit kembali. Rasa kaku, sakit-sakit, atau nyeri otot akibat pelatihan
dapat hilang.
Pelaksanannya
dapat dilakukan dengan pelatihan ringan, misalnya senam atau joging pelan,
dengan maksud mempercepat eliminasi “sampah” pembakaran karena dengan pelatihan
ringan akan ada pemasukan oksigen dan restorasi fungsi tubuh kembali normal.

Aspek
Subjektif. Aspek subjektif tentang second
wind dapat dikemukakan sebagai berikut.
Pada waktu kita mulai melakukan
pelatihan yang berat dengan intensitas tinggi, seperti lari, mendayung, dan
lomba bersepeda, sering kali timbul satu perasaan sesak napas. Keadaan itu
dapat dikatakan disebabkan organisme tubuh kita dari keadaan istirahat
tiba-tiba dimobilisasi untuk bekerja keras. Akan tetapi, apabila pelatihan itu
diterusakn, rasa tidak enak akan menghilang dan akan berganti menjadi rasa
lega, ringan, dan bebas. Perasaan demikian itu menandakan bahwa second wind telah tiba.
Gejala
yang mendahului datangnya second wind
beragam. Misalnya, raut muka memperlihatkanb rasa cemas, frekuensi pernapasan
menjadi cepat dan dangkal, denyut nadi menjadi cepaty dan tidak teratur
iramanya, kepala pusing, dada sesak, dan kadang-kadang timbul rasa sakit di
otot. Namun, yang paling jelas adalah adanya perasaan kehabisan napas. Situasi
demikian dapat disebut juga sebagai first
wind atau angin pertama.
Overkompensasi.
Jadi, dengan datangnya second wind, segala perasaan kurang enak sering hilang
secara tiba-tiba sehingga pelatihan atau pertandingan dapat dilakukan dengan
lega. Rasa cemas hilang, kepala terasa ringan, otot serasa punya energi baru,
serta jantung pun berdenyut lebih lambat dan lebih teratur. Hal itu juga dapat
menjadi pertanda bahwa tahap over kompensasi telah tiba.
Warm
up. Jadi, apa implikasinya bagi pelatih ? pelatih harus menjaga atletnya
agar jangan sampai mengalami “angin pertama” atau perasaan kehabisan napas di
tengah-tengah ketika sedang bertandikng sebab akibat rasa tidak enak itu akan
terjadi degradasi dalam keterampilan dan kondisi fisik. Oleh karena itu,
pelatih harus mengusahakan agar atlet sebelum pertandingan dimulai sudah berada
dalam kondisi second wind. Bagaimana caranya ?
Salah
satu caranya ialah dengan memberikan warm up yang baik dan intensif (baca
uraian mengenai warming up). Jadi, jogingnya harus sufficiently vigorous, tidak
santai-santai bagaimana sering kita lihat dilakukan oleh atlet. Teslah dengan
talk task. Kalau sementara lari, atlet bicaranya tidak jelas (gagap) atau tidak
dapat bersiul, hal itu menandakan bahwa larinya sudah lumayan intensif.
Intensitas
yang kurang dari patokan di atas itu tidak akan men-dongkrak munculnya “angin
pertama”. Tubuh tidak dapat beradaptasi karena jogingnya terlalu santai
sehingga tidak akan ada dampak pelatihan dan tidak akan pula dapat muncul
second wind. Munculnya nanti pada waktu pertandingan dengan segala konsekuensi
buruknya, yaitu kepala pusing, dada seperti mau meledak, lemah, letih, dan
lesu. Jadi, kinerja juga akan sangat menurun.
Fisiologis.
Kalau kita mulai berolahraga, apabila tiba-tiba intensif, asupan oksigen tidak
dapat serta merta memenuhi tuntutan yang diminta oleh aktivitas tersebut. Kalau
pun kita dapat suplai oksigen, kita terpaksa menggunakan sumber energi, seperti
ATP, CP, dan glikoen, yang sangat sedikit persediaan dalam tubuh kita. Kalau
kita hanya menggantungkan diri pada ATP dan CP yang amat sedikit itu, akan
terjadi kekurangan oksigen. Hal itu akan mnemunculkan pembentukan asam laktat
yang akan menghambat kinerja kita.
Namun,
kalau asupan oksigen mulai cukup untuk meladenii tuntutan aktivitas yang kita
lakukan, akan terjadi steady state dan
aktivitas dapat kita lanjutkan dengan lega selama kita mampu menyediakan sumber
tenaga/oksigennya.
![]() |
Coach causes, not symptoms, artinya pada
waktu menerangkan mengenai suatu kesalahan, pelatih harus menekankan sebab terjadinya kesalahan, bukan pada gejalanya.
Jadi, kalau atlet anda lompat tinggi tidak kian naik, jangan mengcoach-nya
loncatmu kurang tinggi, tetapi carilah sebab-sebab mengapa ia tidak kian tinggi
lompatannya. Mungkin karena awalnya kurang cepat, mungkin tolakannya kurang
keras, atau mungkin sikap di atas mistar tidak sesuai dengan hukum biomekanik.
kalau terjadi beberapa kesalahan
sekaligus, mulailah memperbaiki satu teknik bagian terlebih dahulu dan jangan
ingin mencoba untuk memperbaiki semua teknik bagian yang salah sekaligus. Kalau
satu teknik bagian sudah berhasil di kuasai dengan baik, barulah kita pindah ke
teknik bagian yang lain.
Contoh: Seorang pemanah melakukan
tiga kesalahan teknik secara serempak dan sekaligus pada waktu melepaskan anak
panah, yaitu (a) siku kanan turun (seharusnya bergerak lurus ke belakang), (b)
kepala bergerak karena ingin melihat jalannya anak panah (seharusnya tetap
tinggal diam), dan (c) lengan kiri bergerak ke bawah (seharusnya tetap diam dan
menunjuk sasaran). Dalam keadaan demikian, perbaikilah dan latihlah salah satu
teknik bagian terlebih dahulu, misalnya siku kanannya dan jangan pedulikan
dahulu kesalahan pada kepala atau lengan kiri.
Setelah berulang kali (mungkin
puluhan kali) mencurahkan konsentrasinya pada teknik gerakan siku kanan,
niscaya suatu ketika akan ada perbaikan pada teknik siku kanan tersebut. Kalau
sudah tampak perbaikan, barulah konsentrasi dipindahkan ke teknik bgian yang
lain, yaitu kepala atau lengan kiri. Metode itu disebut metode drill-on-parts. Metode ini didasarkan
pada asumsi bahwa manusia sukar untuk dapat berkonsentrasi pada dua aspek pun
bukannya akan mengakibatkan hasil 50% pada setiap aspek, tetapi biasanya kurang
dari itu.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Seorang
pelatih membahas dan memecahkan permasalahan menyangkut kepelatihan dengan mempelajari ilmu-ilmu yang
menunjang. Permasalahan yang timbul dalam dunia kepelatihan
kompleksitasnya sangat tinggi, sebagai contoh apabila sang atlet mempunyai
kondisi fisik yang
lemah, antisipasi
seorang pelatih harus meningkatkan kondisi fisik tersebut, dilain sisi akan
tertundanya proses latihan teknik, mental dan keterampilan, hal semacam ini
dilakukan bersama-sama atau bagian demi bagian dalam proses, disinilah bahwa
pelatih juga dapat dikatakan sebagai seniman, yaitu antara memadukan seni
latihan fisik dan seni latihan keterampilan. Dan pada akhir semua komponen
latihan ini menjadi satu kesatuan pola cara melatih keseluruhan dan
menghasilkan prestasi yang optimal.
B. Saran
Untuk menjadi seorang pelatih yang
baik harus memahami teori dan metodologi latihan
seorang pelatih dituntut menguasai berbagai ilmu pendukung yaitu, Kesehatan olahraga, anatomi,
fisiologi, statistika, biomekanika, tes pengukuran, kebugaran jasmani,
psikologi, ilmu pendidikan, sejarah, belajar gerak, sosiologi, dan ilmu gizi.
Daftar Pustaka
Daftar Pustaka
Bompa,Tudor
O.1994,Theory and methodology of training.debuque lowa:kenda/hunt publishing
company
Harre,Dietrich.1992.Principles
of sport Training.Berlin:sportverlg
___________.2004.perencanaan
program pelatihan .Edisi II Bandung:FKOP-UPI
Harsono.2005.coaching
dan aspek-aspek psikologis dalam coaching .jakarta:CV Tambak kusuma
Katch frank
J.Mc.Ardle,William.1993.Nutrition,Weight control,and Exercise.Philadelpia:lea
and Febiger.
Thomas,Vaughan,1970.science
and sport.london: Faber&Faber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar